Thursday, December 27, 2012

Syiah adalah Pembunuh Sayyidina Husain di Karbala

Seorang tokoh Islam yang terkenal di Pakistan, Maulana Ali Ahmad Abbasi menulis di dalam bukunya “Hazrat Mu’aawiah Ki Siasi Zindagi” bahwa di dalam sejarah Islam, ada dua orang yang sungguh kontroversial. Seorang di antaranya adalah Amirul Mukminin Yazid yang makin lama makin dimusnahkan image-nya walaupun semasa hayatnya beliau diterima baik oleh tokoh-tokoh utama di zaman itu. Seorang lagi ialah Manshur Al Hallaj. Di zamannya dia telah dihukum sebagai mulhid, zindiq, dan salah seorang daripada golongan Qaramithah oleh masyarakat Islam yang membawanya disalib. Amirul Mukminin Al Muqtadir Billah telah menghukumkan beliau murtad berdasarkan fatwa sekalian ulama dan fuqaha’ yang hidup pada waktu itu, tetapi image-nya semakin cerah tahun demi tahun sehingga akhirnya telah dianggap sebagai salah seorang ‘Aulia Illah’.
Bagaimanapun semua ini adalah permainan khayalan dan fantasi manusia yang jauh dari berpijak di bumi yang nyata. Semua ini adalah akibat dari tidak menghargai dan memberikan penilaian yang sewajarnya kepada pendapat orang-orang pada zaman mereka masing-masing.
Pendapat tokoh-tokoh dari kalangan sabahat dan tabi’in yang sezaman dengan Yazid, berdasarkan riwayat-riwayat yang muktabar dan sangat kuat kedudukannya, menjelaskan kepada kita bahwa Yazid adalah seorang anak muda yang bertaqwa, alim, budiman, shalih, dan pemimpin ummah yang sah dan disepakati kepemimpinannya. Baladzuri umpamanya dalam “Ansabu Al Asyraf” mengatakan bahwa, “Bila Yazid dilantik menjadi khalifah maka Abdullah bin Abbas, seorang tokoh dari Ahlul Bait berkata: “Sesungguhnya anaknya Yazid adalah dari keluarga yang shalih. Oleh karena itu, tetaplah kamu berada di tempat-tempat duduk kamu dan berilah ketaatan dan bai’at kamu kepadanya” (Ansabu Al Asyraf, jilid 4, halaman 4).
Sejarawan Baladzuri adalah di antara ahli sejarah yang setia kepada para Khulafa Al Abbasiyah. Beliau telah mengemukakan kata-kata Ibnu Abbas ini di hadapan mereka dan menyebutkan pula sebelum nama Yazid sebutan ‘Amirul Mukminin’.
Abdullah Ibnu Umar yang dianggap sebagai orang tua di kalangan sahabat pada masa itu pun bersikap tegas terhadap orang-orang yang menyokong pemberontakan yang dipimpin oleh Ibnu Zubair terhadap kerajaan Yazid, dan sikap yang begini disebut di dalam Shahih Bukhari bahwa, bila penduduk Madinah membatalkan bai’at mereka terhadap Yazid bin Muawiyah maka Ibnu Umar mengumpulkan anak pinak dan sanak saudaranya lalu berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Akan dipacakkan bendera untuk setiap orang yang curang (membatalkan bai’atnya) pada hari kiamat. Sesungguhnya kita telah berbai’at kepadanya dengan nama Allah dan RasulNya. Sesungguhnya saya tidak mengetahui kecurangan yang lebih besar daripada kita berbai’at kepada seseorang dengan nama Allah dan RasulNya, kemudian kita bangkit pula memeranginya. Kalau saya tahu ada siapa saja dari kamu membatalkan bai’at kepadanya, dan turut serta di dalam pemberontakan ini, maka terputuslah perhubungan di antaraku dengannya.” (Shahih Bukhari – Kitabu Al Fitan)
Sebenarnya jika dikaji sejarah permulaan Islam, kita dapati pembunuhan Sayyidina Husain di zaman pemerintahan Yazid-lah yang merupakan fakta terpenting mendorong segala fitnah dan keaiban yang dikaitkan dengan Yazid tidak mudah ditolak oleh generasi kemudian. Hakikat inilah yang mendorong lebih banyak cerita-cerita palsu tentang Yazid  yang diada-adakan oleh musuh-musuh Islam. Tentu saja, orang yang membunuh menantu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tersayang- dibelai oleh Rasulullah dengan penuh kasih sayang semasa hayatnya kemudian dijunjung pula dengan menyebutkan kelebihan dan keutamaan-keutamaannya di dalam hadits-hadits Baginda- tidak akan dipandang sebagai seorang yang berperi kemanusiaan apalagi untuk mengatakannya seorang shalih, budiman, bertaqwa ,dan pemimpin umat Islam.
Karena itulah cerita-cerita seperti Yazid sering kali minum arak, seorang yang suka berfoya-foya, suka mendengar musik, dan menghabiskan waktu dengan penari-penari, begitu juga beliau adalah orang terlalu rendah jiwanya sehingga suka bermain dengan monyet dan kera, terlalu mudah diterima oleh umat Islam kemudian.
Tetapi soalnya, benarkah Yazid membunuh Sayyidina Husain? Atau benarkah Yazid memerintahkan supaya Sayyidina Husain dibunuh di Karbala?
Selagi tidak dapat ditentukan siapakah pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya dan terus diucapkan, “Yazidlah pembunuhnya,” tanpa soal selidik yang mendalam dan teliti, maka selama itulah nama Yazid akan terus tercemar dan dia akan dipandang sebagai manusia yang paling malang. Tetapi bagaimana jika yang membunuh Sayyidina Husain itu bukan Yazid? Kemanakah pula akan kita bawakan segala tuduhan-tuduhan liar, fitnah, dan caci maki yang selama ini telah kita sandarkan pada Yazid itu?
Jika kita seorang yang cintakan keadilan, berlapang dada, sudah tentu kita akan berusaha untuk membincangkan segala keburukan yang dihubungkan kepada Yazid selama ini dan kita pindahkannya ke halaman rumah pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya. Apalagi jika kita seorang Ahlus Sunnah wal Jamaah, sudah tentu dengan dengan adanya bukti-bukti yang kuat dan kukuh daripada sumber-sumber rujukan muktabar dan berdasarkan prinsip-prinsip aqidah yang diterima di kalangan Ahlus Sunnah, kita akan terdorong untuk membersihkan Yazid daripada segala tuduhan dan meletakkannya ditempat yang istimewa dan selayak dengannya di dalam rentetan sejarah awal Islam.
Sekarang marilah kita pergi ke tengah-tengah medan penyelidikan tentang pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala bersama-sama dengan sekian banyak anggota keluarganya.
Pembunuh Sayyidina Husain Adalah Syiah Kufah
Terlebih dahulu kita akan menyatakan dakwaan kita secara terus terang dan terbuka bahwa pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya bukanlah Yazid, tetapi adalah golongan Syiah Kufah.
Dakwaan ini berdasarkan beberapa fakta dan bukti-bukti daripada sumber-sumber rujukan sejarah yang muktabar. Kita akan membahagi-bahagikan bukti-bukti yang akan dikemukakan nanti kepada dua bahagian :
  1.  Bukti-bukti utama
  2.  Bukti-bukti sokongan
I. Bukti-bukti Utama
Dengan adanya bukti-bukti utama ini, tiada mahkamah pengadilan yang dibangunkan untuk mencari kebenaran dan mendapatkan keadilan akan memutuskan Yazid sebagai terdakwa dan sebagai penjahat  yang bertanggungjawab di dalam pembunuhan Sayyidina Husain. Bahkan Yazid akan dilepaskan dengan penuh penghormatan dan akan terbongkarlah rahasia yang selama ini menutupi pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya di Karbala.
Bukti pertamanya ialah pengakuan Syiah Kufah sendiri bahwa merekalah yang membunuh Sayyidina Husain. Golongan Syiah Kufah yang mengaku telah membunuh Sayyidina Husain itu kemudian muncul sebagai golongan “At Tawwaabun” yang kononnya menyesali tindakan mereka membunuh Sayyidina Husain. Sebagai cara bertaubat, mereka telah berbunuh-bunuhan sesama mereka seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi sebagai pernyataan taubatnya kepada Allah karena kesalahan mereka menyembah anak lembu sepeninggalan Nabi Musa ke Thur Sina.
Air mata darah yang dicurahkan oleh golongan “At Tawaabun” itu masih kelihatan dengan jelas pada lembaran sejarah dan tetap tidak hilang walaupun coba dihapuskan oleh mereka dengan beribu-ribu cara.
Pengakuan Syiah pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain ini diabadikan oleh ulama-ulama Syiah yang merupakan tunggak dalam agama mereka seperti Baqir Majlisi, Nurullah Syustri, dan lain-lain di dalam buku mereka masing-masing. Baqir Majlisi menulis :
“Sekumpulan orang-orang Kufah terkejut oleh satu suara ghaib. Maka berkatalah mereka, “Demi Tuhan! Apa yang telah kita lakukan ini tak pernah dilakukan oleh orang lain. Kita telah membunuh “Penghulu Pemuda Ahli Surga” karena Ibnu Ziad anak haram itu. Di sini mereka mengadakan janji setia di antara sesama mereka untuk memberontak terhadap Ibnu Ziad tetapi tidak berguna apa-apa.” (Jilaau Al ‘Uyun, halaman 430)
Qadhi Nurullah Syustri pula menulis di dalam bukunya Majalisu Al Mu’minin bahwa setelah  sekian lama (lebih kurang 4 atau 5 tahun) Sayyidina Husain terbunuh, ketua orang-orang Syiah mengumpulkan orang-orang Syiah dan berkata, “Kita telah memanggil Sayyidina Husain dengan memberikan janji akan taat setia kepadanya, kemudian kita berlaku curang dengan membunuhnya. Kesalahan kita sebesar ini tidak akan diampunkan kecuali kita berbunuh-bunuhan sesama kita.” Dengan itu berkumpullah sekian banyak orang Syiah di tepi Sungai Furat sambil mereka membaca ayat yang bermaksud, “Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang telah menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu.” (Al Baqarah :54). Kemudian mereka berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Inilah golongan yang dikenali dalam sejarah Islam dengan gelaran “At Tawaabun.”
Sejarah tidak melupai dan tidak akan melupai peranan Syits bin Rab’i di dalam pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala. Tahukah Anda siapa itu Syits bin Rab’i? Dia adalah seorang Syiah tulen, pernah menjadi duta ke Sayyidina Ali di dalam peperangan Shiffin, sentiasa bersama Sayyidina Husain. Dialah juga yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk mencetuskan pemberontakan terhadap kerajaan pimpinan Yazid, tetapi apakah yang telah dilakukan olehnya?
Sejarah memaparkan bahwa dialah yang mengepalai 4.000 orang bala tentera untuk menentang Sayyidina Husain dan dialah orang yang mula-mula turun dari kudanya untuk memenggal kepala Sayyidina Husain. (Jilaau Al Uyun danKhulashatu Al Mashaaib, halaman 37)
Adakah masih ada orang yang ragu-ragu tentang Syiahnya Syits bin Rab’i dan tidakkah orang yang menceritakan perkara ini ialah Mullah Baqir Majlisi, seorang tokoh Syiah terkenal? Secara tidak langsung ia bermakna pengakuan daripada pihak Syiah sendiri tentang pembunuhan itu.
Lihatlah pula kepada Qais bin Asy’ats, ipar Sayyidina Husain, yang tidak diragui tentang Syiahnya tetapi apa kata sejarah tentangnya? Bukankah sejarah menjelaskan kepada kita bahwa itulah orang yang merampas selimut Sayyidina Husain dari tubuhnya selepas selesai pertempuran? (Khulashatu Al Mashaaib, halaman 192)
Selain dari pengakuan mereka sendiri yang membuktikan merekalah sebenarnya pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain, pernyataan saksi-saksi yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husain sebagai saksi-saksi hidup di Karbala, yang terus hidup selepas peristiwa ini, juga membenarkan dakwaan ini termasuk pernyataan Sayyidina Husain sendiri yang sempat direkam oleh sejarah sebelum beliau terbunuh. Sayyidina Husain berkata dengan menujukan kata-katanya kepada orang- orang Syiah Kufah yang siap sedia bertempur dengan beliau:
“Wahai orang-orang Kufah! Semoga kamu dilaknat sebagaimana dilaknat maksud- maksud jahatmu. Wahai orang-orang yang curang, zalim, dan pengkhianat! Kamu telah menjemput kami untuk membela kamu di waktu kesempitan tetapi bila kami datang untuk memimpin dan membela kamu dengan menaruh kepercayaan kepadamu maka sekarang kamu hunuskan pedang dendammu kepada kami dan kamu membantu musuh-musuh di dalam menentang kami.” (Jilaau Al Uyun, halaman 391).
Beliau juga berkata kepada Syiah:
“Binasalah kamu! Bagaimana boleh kamu menghunuskan perang dendammu dari sarung-sarungnya tanpa sebarang permusuhan dan perselisihan yang ada di antara kamu dengan kami? Kenapakah kamu siap sedia untuk membunuh Ahlul Bait tanpa sebarang sebab?” (Ibid).
Akhirnya beliau mendoakan keburukan untuk golongan Syiah yang sedang berhadapan untuk bertempur dengan beliau:
“Ya Allah! Tahanlah keberkatan bumi dari mereka dan selerakkanlah mereka. Jadikanlah hati-hati pemerintah terus membenci mereka karena mereka menjemput kami dengan maksud membela kami tetapi sekarang mereka menghunuskan pedang dendam terhadap kami.” (Ibid)
Beliau juga dicatat telah mendoakan keburukan untuk mereka dengan kata-katanya: “Binasalah kamu! Tuhan akan membalas bagi pihakku di dunia dan di akhirat… Kamu akan menghukum diri kamu sendiri dengan memukul pedang-pedang di atas tubuhmu dan mukamu akan menumpahkan darah kamu sendiri. Kamu tidak akan mendapat keberuntungan di dunia dan kamu tidak akan sampai kepada hajatmu. Apabila mati nanti sudah tersedia adzab Tuhan untukmu  di akhirat. Kamu akan menerima azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir yang paling dahsyat kekufurannya.” (Mullah Baqir Majlisi – Jilaau Al Uyun, halaman 409).
Dari kata-kata Sayyidina Husain yang dipaparkan oleh sejarawan Syiah sendiri, Mullah Baqir Majlisi, dapat disimpulkan bahwa:
  1. Propaganda yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam melalui penulisan sejarah bahwa pembunuhan Ahlul Bait di Karbala merupakan balas dendam dari Bani Umayyah terhadap Ahlul Bait yang telah membunuh pemimpin-pemimpin Bani Umayyah yang kafir di dalam peperangan Badar, Uhud, Shiffin, dan lain-lain tidak lebih daripada propaganda kosong semata-mata karena pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain dan Ahlul Bait di Karbala bukannya datang dari Syam, bukan juga dari kalangan Bani Umayyah tetapi dari kalangan Syiah Kufah.
  2. Keadaan Syiah yang sentiasa diburu dan dihukum oleh kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang sejarah membuktikan termakbulnya doa Sayyidina Husain di medan Karbala atas Syiah.
  3. Upacara menyiksa badan dengan memukul tubuhnya dengan rantai, pisau, dan pedang pada 10 Muharram dalam bentuk perkabungan yang dilakukan oleh golongan Syiah itu sehingga mengalir darah juga merupakan bukti diterimanya doa Sayyidina Husain dan upacara ini dengan jelas dapat dilihat hingga sekarang di dalam masyarakat Syiah. Adapun di kalangan Ahlus Sunnah tidak pernah wujud upacara yang seperti ini dan dengan itu jelas menunjukkan bahwa merekalah golongan yang bertanggungjawab membunuh Sayyidina Husain.
  4. Betapa kejam dan kerasnya hati golongan ini dapat dilihat pada tindakan mereka menyembelih dan membunuh Sayyidina Husain bersama dengan sekian banyak ahli keluarganya, walaupun setelah mendengar ucapan dan doa keburukan untuk mereka yang dipinta oleh beliau. Itulah dia golongan yang buta mata hatinya dan telah hilang kewarasan pemikirannya karena sebaik saja mereka selesai membunuh, mereka melepaskan kuda Dzuljanah yang ditunggangi Sayyidina Husain sambil memukul-mukul tubuh untuk menyatakan penyesalan. Dan inilah dia upacara perkabungan pertama terhadap kematian Sayyidina Husain yang pernah dilakukan di atas muka bumi ini sejauh pengetahuan sejarah. Dan hari ini tidakkah anak cucu golongan ini meneruskan upacara perkabungan ini setiap kali tibanya 10 Muharram?
Ali Zainal Abidin anak Sayyidina Husain yang turut serta di dalam rombongan ke Kufah dan terus hidup selepas berlakunya peristiwa itu pula berkata kepada orang-orang Kufah lelaki dan perempuan yang merentap dengan mengoyak-ngoyakkan baju mereka sambil menangis, dalam keadaan sakit beliau dengan suara yang lemah berkata kepada mereka, “Mereka ini menangisi kami. Tidakkah tidak ada orang lain yang membunuh kami selain mereka?” (At Thabarsi, Al Ihtijaj, halaman 156).
Pada halaman berikutnya Thabarsi menukilkan kata-kata Imam Ali Zainal Abidin kepada orang-orang Kufah. Kata beliau, “Wahai manusia (orang-orang Kufah)! Dengan nama Allah aku bersumpah untuk bertanya kamu, ceritakanlah! Tidakkah kamu adar bahwa kamu mengutuskan surat kepada ayahku (menjemputnya datang), kemudian kamu menipunya? Bukankah kamu telah memberikan perjanjian taat setia kamu kepadanya? Kemudian kamu membunuhnya, membiarkannya dihina. Celakalah kamu karena amalan buruk yang telah kamu dahulukan untuk dirimu.”
Sayyidatina Zainab, saudara perempuan Sayyidina Husain yang terus hidup selepas peristiwa itu juga mendoakan keburukan untuk golongan Syiah Kufah. Katanya, ” Wahai orang-orang Kufah yang khianat, penipu! Kenapa kamu menangisi kami sedangkan air mata kami belum lagi kering karena kezalimanmu itu. Keluhan kami belum lagi terputus oleh kekejamanmu. Keadaan kamu tidak ubah seperti perempuan yang memintal benang kemudian dirombaknya kembali. Kamu juga telah merombak ikatan iman dan telah berbalik kepada kekufuran…Adakah kamu meratapi kami padahal kamu sendirilah yang membunuh kami. Sekarang kamu pula menangisi kami. Demi Allah! Kamu akan banyak menangis dan sedikit ketawa. Kamu telah membeli keaiban dan kehinaan untuk kamu. Tompokan kehinaan ini sama sekali tidak akan hilang walau dibasuh dengan air apapun.” (Jilaau Al  Uyun, halaman 424).
Doa anak Sayyidatina Fatimah ini tetap menjadi kenyataan dan berlaku di kalangan Syiah hingga ke hari ini.
Ummu Kultsum anak Sayyidatina Fatimah pula berkata sambil menangis di atas segedupnya, “Wahai orang-oang Kufah! Buruklah hendaknya keadaanmu. Buruklah hendaklah rupamu. Kenapa kamu menjemput saudaraku, Husain, kemudian tidak membantunya, bahkan membunuhnya, merampas harta bendanya dan menawan orang-orang perempuan dari Ahli Bait-nya. Laknat Allah ke atas kamu dan semoga kutukan Allah mengenai mukamu.”
Beliau juga berkata, ” Wahai orang-orang Kufah! Orang-orang lelaki dari kalangan kamu membunuh kami sementara orang-orang perempuan pula menangisi kami. Tuhan akan memutuskan di antara kami dan kamu di hari kiamat nanti.” (Ibid, halaman 426-428)
Sementara Fatimah anak perempuan Sayyidina Husain pula berkata, “Kamu telah membunuh kami dan merampas harta benda kami, kemudian telah membunuh kakekku Ali (Sayyidina Ali). Senantiasa darah-darah kami menitis dari hujung-hujung pedangmu……Tak lama lagi kamu akan menerima balasannya. Binasalah kamu! Tunggulah nanti azab dan kutukan Allah akan terus menerus menghujani kamu. Siksaan dari langit akan memusnahkan kamu akibat perbuatan terkutukmu. Kamu akan memukul tubuhmu dengan pedang-pedang di dunia ini dan di akhirat nanti kamu akan terkepung dengan azab yang pedih.”
Apa yang dikatakan oleh Sayyidatina Fatimah binti Husain ini dapat dilihat dengan mata kepala kita sendiri di mana-mana Syiah berada.
Dua bukti utama yang telah kita kemukakan tadi, sebenarnya sudah mencukupi untuk kita memutuskan siapakah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain di Karbala. Daripada keterangan dalam kedua-dua bukti yang lalu dapat kita simpulkan beberapa perkara :
  1. Orang-orang yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk memberontak adalah Syiah.
  2. Orang-orang yang tampil untuk bertempur dengan rombongan Sayyidina Husain di Karbala itu juga Syiah.
  3. Sayyidina Husain dan orang-orang yang ikut serta di dalam rombongannya terdiri daripada saudara- saudara perempuannya dan anak-anaknya menyaksikan bahwa Syiah-lah yang telah membunuh mereka.
  4. Golongan Syiah Kufah sendiri mengakui merekalah yang membunuh di samping menyatakan penyesalan mereka dengan meratap dan berkabung karena kematian orang-orang yang dibunuh oleh mereka.
Mahkamah di dunia ini menerima keempat-empat perkara yang tersebut tadi sebagai bukti yang kukuh dan jelas menunjukkan siapakah pembunuh sebenarnya di dalam suatu kasus pembunuhan, yaitu bila pembunuh dan yang terbunuh berada di suatu tempat, ada orang menyaksikan ketika mana pembunuhan itu dilakukan. Orang yang terbunuh sendiri menyaksikan tentang pembunuhnya dan puncaknya ialah pengakuan pembunuh itu sendiri. Jika keempat-empat perkara ini sudah terbukti dengan jelas dan diterima oleh semua mahkamah sebagai kasus pembunuhan yang cukup bukti-buktinya, maka bagaimana mungkin diragui lagi tentang pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain itu?
Ii. Bukti-bukti Sokongan
Walau bagaimanapun kita akan mengemukakan lagi beberapa bukti sokongan supaya lebih menyakinkan kita tentang golongan Syiah itulah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain. Di antaranya ialah:
1. Tidak sukar untuk kita terima mereka sebagai pembunuh Sayyidina Husain apabila kita melihat kepada sikap mereka yang biadab terhadap Sayyidina Ali dan Sayyidina Hasan sebelum itu. Begitu juga sikap mereka yang biadap terhadap orang-orang yang dianggap oleh mereka sebagai Imam selepas Sayyidina Husain. Bahkan terdapat banyak pula bukti yang menunjukkan merekalah yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan beberapa orang Imam walaupun mereka menuduh orang lain sebagai pembunuh Imam- imam itu dengan menyebar luaskan propaganda-propaganda mereka terhadap tertuduh itu.
Di antara kebiadaban mereka terhadap Sayyidina Ali ialah mereka menuduh Sayyidina Ali berdusta dan mereka pernah mengancam untuk membunuh Sayyidina Ali. Bahkan Ibnu Muljim yang kemudian membunuh Sayyidina Ali itu juga mendapat latihan serta didikan untuk menentang Sayyidina Utsman di Mesir dan berpura-pura mengasihi Sayyidina Ali. Dia pernah berkhidmat sebagai pengawal Sayyidina Ali selama beberapa tahun di Madinah dan Kufah.
Di dalam Jilaau Al Uyun disebutkan bahwa Abdul Rahman ibnu Muljim adalah salah seorang dari kelompok yang terhormat yang telah dikirimkan oleh Muhammad bin Abu Bakr dari Mesir. Dia juga telah berbai’at dengan memegang tangan Sayyidina Ali dan dia juga berkata kepada Sayyidina Hasan, ” Bahwa aku telah berjanji dengan Tuhan untuk membunuh bapakmu dan sekarang aku menunaikannya. Sekarang wahai Hasan jika engkau mau membunuhku, bunuhlah. Tetapi kalau engkau maafkan aku, aku akan pergi membunuh Muawiyah pula supaya engkau terselamat daripada kejahatannya.” (Jilaau Al Uyun, halaman 218)
Tetapi setelah golongan Syiah pada ketika itu merasakan rencana mereka semua akan gagal apabila perjanjian damai di antara pihak Sayyidina Ali dan Muawiyah disetujui, maka golongan Syiah yang merupakan musuh-musuh Islam yang menyamar atas nama Islam itu memikirkan diri mereka tidak selamat apabila perdamaian antara Sayyidina Ali dan Muawiyah terjadi. Maka segolongan dari mereka telah mengasingkan diri daripada mengikuti Sayyidina Ali dan mereka menjadi golongan Khawarij sementara segolongan lagi tetap berada bersama Sayyidina Ali. Perpecahan yang berlaku ini sebanarnya satu taktik mereka untuk mempergunakan Sayyidina Ali demi kepentingan mereka yang jahat itu dan untuk berselindung di balik beliau dari hukuman karena pembunuhan Khalifah Utsman.
Sayyidina Hasan pula pernah ditikam oleh golongan Syiah pahanya hingga tembus kemudian mereka menunjukkan pula kebiadabannya terhadap Sayyidina Hasan dengan merampas harta bendanya dan menarik kain sajadah yang diduduki oleh Sayyidina Hasan. Ini semua tidak lain melainkan karena Sayyidina Hasan telah bersedia untuk berdamai dengan pihak Sayyidina Muawiyah. Bahkan bukan sekadar itu saja mereka telah menuduh Sayyidina Hasan sebagai orang yang menghinakan orang-orang Islam dan sebagai orang yang menghitamkan muka orang-orang Mukmin.
Kebiadaban Syiah dan kebusukan hatinya ditujukan juga kepada Imam Ja’far Ash Shadiq bila seorang Syiah yang sangat setia kepada Imam Ja’far Ash Shadiq, yaitu Rabi’, menangkap Imam Ja’far Ash Shadiq dan membawanya kehadapan Khalifah Al Mansur supaya dibunuh. Rabi’ telah memerintahkan anaknya yang paling keras hati supaya menyeret Imam Ja’far Ash Shadiq dengan kudanya. Ini tersebut di dalam kitab Jilaau Al Uyun karangan Mullah Baqir Majlisi.
Di dalam kitab yang sama, pengarangnya juga menyebutkan kisah pembunuhan Ali Ar Ridha yaitu Imam yang ke delapan di sisi Syiah, bahwa beliau telah dibunuh oleh Sabih Dailamy, seorang Syiah tulen atas perintah Al Makmun. Bagaimanapun diceritakan bahwa selepas dibunuh itu, Imam Ar Ridha dengan mukjizatnya terus hidup kembali dan tidak ada langsung bekas-bekas pedang di tubuhnya.
Bagaimanapun Syiah telah menyempurnakan tugasnya untuk membunuh Imam Ar Ridha. Oleh itu tidaklah heran golongan yang sampai begini biadabnya terhadap Imam-imam bisa membunuh Sayyidina Husain tanpa belas kasihan di medan Karbala.
Boleh jadi kita akan mengatakan bagaimana mungkin pengikut-pengikut setia Imam-imam ini yang dikenali dengan ‘Syiah’ bisa bertindak kejam pula terhadap Imam-imamnya? Tidakkah mereka sanggup mempertahankan nyawa demi mempertahankan Iman-imam mereka? Secara ringkas, bolehlah kita katakan bahwa ‘perasaan keheranan’ yang seperti ini mungkin timbul dari dalam fikiran Syiah, yang tidak mengetahui latar belakang terbentuknya Syiah itu sendiri. Mereka hanya menerima secara membabi buta daripada orang-orang terdahulu. Adapun orang-orang yang mengadakan sesuatu fahaman dengan tujuan-tujuan yang tertentu dan masih hidup ketika mana ajaran dan fahaman itu mula dikembangkan tentu sekali mereka sedar maksud dan tujuan mereka mengadakan ajaran tersebut. Pada lahirnya mereka menunjukkan taat setia dan kasih sayang kepada Imam-imam itu, tetapi pada hakikatnya adalah sebaliknya.
2. Di antara bukti yang menunjukkan tidak ada peranan Yazid dalam pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala, bahkan golongan Syiah-lah yang bertanggungjawab membunuh beliau bersama dengan ramai orang-orang yang ikut serta di dalam rombongan itu, ialah adanya hubungan perbesanan di antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah, selepas terjadinya peperangan Sgiffin dan juga selepas terjadinya peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala.
Tidak mungkin orang-orang yang memiliki kehormatan seperti kalangan Ahlul Bait akan menikah dengan orang-orang yang diketahui oleh mereka sebagai pembunuh-pembunuh atau orang-orang yang bertanggungjawab di dalam membunuh ayah, kakek, atau paman mereka Sayyidina Husain. Hubungan ini selain menunjukkan pemerintah-pemerintah dari kalangan Bani Muawiyah dan Yazid sebagai orang yang tidak bersalah di dalam pembunuhan ini, ia juga menunjukkan mereka adalah golongan yang banyak berbudi kepada Ahlul Bait dan sentiasa menjalinkan ikatan kasih sayang di antara mereka dan Ahlul Bait.
Di antara contoh hubungan perbesanan ini ialah:
  1. Anak perempuan Sayyidina Ali sendiri bernama Ramlah telah menikah dengan anak Marwan bin Al Hakam yang bernama Muawiyah yaitu saudara Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan. (Ibn Hazm, Jamharatu Al Ansab, halaman 80)
  2. Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali menikah dengan Amirul Mukminin Abdul Malik sendiri yaitu khalifah yang ke empat dari kerajaan Bani Umayah. (Al Bidayah Wa An Nihayah, jilid 9 halaman 69)
  3. Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali yaitu Khadijah menikah dengan anak gubernur  ’Amir bin Kuraiz dari Bani Umayah bernama Abdul Rahman. (Jamharatu An Ansab, halaman 68). ‘Amir bin Kuraiz adalah gubernur bagi pihak Muawiyah di Basrah dan dalam peperangan Jamal dia berada di pihak lawan Sayyidina Ali.
Cucu Sayyidina Hasan pula bukan seorang dua yang telah menikah dengan pemimpin-pemimpin kerajaan Bani Umayah bahkan sejarah telah mencatatkan 6 orang daripada cucu beliau telah menikah dengan mereka yaitu:
  1. Nafisah binti Zaid bin Hasan menikah dengan Amirul Mukminin Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan.
  2. Zainab binti Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali juga telah menikah dengan Khalifah Al Walid bin Abdul Malik. Zainab ini adalah di antara orang yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husain ke Kufah dan dia adalah salah seorang yang menyaksikan peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala dengan mata kepalanya sendiri.
  3. Ummu Qasim binti Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali menikah dengan cucu Sayyidina Uthman yaitu Marwan bin Aban. Ummu Qasim ini selepas kematian suaminya Marwan menikah pula dengan Ali Zainal Abidin bin Al Husain.
  4. Cucu perempuan Sayyidina Hasan yang keempat telah menikah dengan anak Marwan bin Al Hakam yaitu Muawiyah.
  5. Cucu Sayyidina Hasan yang kelima bernama Hammaadah binti Hasan Al Mutsanna menikah dengan anak saudara Amirul Mukminin Marwan bin Al Hakam yaitu Ismail bin Abdul Malik.
  6. Cucu Sayyidina Hasan yang keenam bernama Khadijah binti Husain bin Hasan bin Ali juga pernah menikah dengan Ismail bin Abdul Malik yang tersebut tadi sebelum sepupunya Hammaadah.
Perlu diingat bahwa semua mereka yang tersebut ada meninggalkan keturunan.
Dari kalangan anak cucu Sayyidina Husain pula ramai yang telah menjalinkan perkahwinan dengan individu-individu dari keluarga Bani Umayah, antaranya ialah:
  1. Anak perempuan Sayyidina Husain yang terkenal bernama Sakinah. Setelah beberapa lama terbunuh suaminya, Mush’ab bin Zubair, beliau telah menikah dengan cucu Amirul Mukminin Marwan yaitu Al Asbagh bin Abdul Aziz bin Marwan. Asbagh ini adalah saudara dari Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, sedangkan isteri Asbagh yang kedua ialah anak dari Amirul Mukminin Yazid yaitu Ummu Yazid. (Jamharatu Al Ansab)
  2. Sakinah anak Sayyidina Husain yang tersebut tadi pernah juga menikah dengan cucu Sayyidina Uthman yang bernama Zaid bin Amar bin Utsman.
Sementara anak cucu kepada saudara-saudara Sayyidina Husain yaitu Abbas bin Ali dan lain-lain juga telah mengadakan perhubungan perbesanan dengan keluarga Umayah. Di antaranya yang boleh disebutkan ialah:
Cucu perempuan dari saudara Sayyidina Husain yaitu Abbas bin Ali bernama Nafisah binti Ubaidillah bin Abbas bin Ali menikah dengan cucu Amirul Mukminin Yazid yang bernama Abdullah bin Khalid bin Yazid bin Muawiyah. Datuk kepada Nafisah ini yaitu Abbas bin Ali adalah di antara orang yang ikut serta dalam rombongan Sayyidina Husain ke Kufah. Beliau terbunuh dalam pertempuran di medan Karbala .
Sekiranya benar cerita yang diambil oleh ahli -ahli sejarah dari Abu Mukhnaf, Hisyam dan lain–lain tentang kezaliman Yazid di Karbala yang dikatakan telah memerintah supaya tidak dibenarkan setitik pun air walaupun kepada kanak–kanak yang ikut serta dalam rombongan Sayyidina Husain itu sehingga mereka mati kehausan apakah mungkin perkawinan di antara cucu kepada Abbas ini terjadi dengan cucu Yazid. Apakah kekejaman–kekejaman yang tidak ada tolak bandingnya seperti yang digambarkan di dalam sejarah boleh dilupakan begitu mudah oleh anak – anak cucu orang–orang yang teraniaya di medan Karbala itu? Apa lagi jika dilihat kepada zaman berlakunya perkawinan mereka ini, bukan lagi di zaman kekuasaan keluarga Yazid, bahkan yang berkuasa pada ketika itu ialah keluarga Marwan. Di sana tidak terdapat satu pun alasan untuk kita mengatakan perkahwinan itu berlaku secara kekerasan atau paksaan.
Perkawinan mereka membuktikan kisah–kisah kezaliman yang dilakukan oleh tentara Yazid kepada rombongan Sayyidina Husain itu cerita–cerita rekaan oleh Abu Mukhnaf, Al Kalbi dan anaknya Hisyam dan lain–lain.
Cucu perempuan dari saudara Sayyidina Husain, Muhammad bin Ali (yang terkenal dengan Muhammad bin Hanafiyah) bernama Lubabah menikah dengan Said bin Abdullah bin Amr bin Said bin Al Ash bin Umayah. Ayah kepada Lubabah ini ialah Abu Hisyam Abdullah yang dipercayai sebagai imam oleh Syiah Kaisamyyah .
Demikianlah serba ringkasnya dikemukakan hubungan persemendaaan yang berlaku di antara Bani Umaiyyah dan Bani Hasyim terutamanya dari anak cucu Sayyidina Ali, Hasan dan Husain. Hubungan persemendaan di antara mereka sangat banyak terdapat di dalam kitab-kitab Ansab dan sejarah. Maklumat lebih lanjut boleh dirujuk dari kitab–kitab seperti Jamratu Al Ansab, Nasbu Quraisy, Al Bidayah wa An Nihayah, Umdatu Al Thalib Fi Ansab Aal Abi Thalib, dan lain–lain.

Tuesday, December 18, 2012

Kemesraan Sahabat dan Ahlul Bait



http://pembelaswaja.files.wordpress.com/2012/05/silsilah-ahlulbayt.jpg

Silsilah di atas adalah sebagian Fakta yang menunjukkan gambaran hubungan antara sahabat dan ahlul bait Nabi shalallahu alaihi wassalam dimulai saat Nabi Shalallahu wasalam masih hidup dan diteruskan setelah beliau wafat, maka sungguh disayangkan jika kita saat ini mempercayai  pemutar balikkan sejarah yang dilakukan oleh orang-orang yang berusaha mendiskreditkan mereka dan kemudian ikut terjebak pula dengan dikotomi “sahabat” dan “ahlul bait” yang digambarkan saling bermusuhan, padahal kenyataannya mereka melebur menjadi satu umat, bahkan lebih dari itu, mereka saling mempererat hubungan mereka dengan menjalin ikatan perkawinan diantara mereka dan keturunan mereka.

Adalah hal yang menarik mengenai silsilah mereka, ternyata bukan hanya di catat dalam literatur sunni, tetapi juga tercatat dalam literatur syi’ah, sehingga salah satu Imam syi’ah, yaitu Imam ke enam syi’ah, Imam Ja’far Ash Shodiq adalah hasil keturunan ahlul bait dan sahabat, yaitu silsilah dari pihak ayah bersambung sampai kepada Imam Ali ra dan dari pihak ibu bersambung sampai kepada  Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq ra, sehingga otomatis Imam-imam syi’ah selanjutnya dari garis keturunan Ja’far Ash Shodiq adalah keturunan Imam Ali dan Abu Bakar ra. Imam Ja’far sangat menghormati dan mencintai kakeknya tersebut sehingga beliau pernah berkata bahwa beliau dilahirkan dua kali oleh Abu Bakar.

Demikian juga hal lain yang kita temukan dari silsilah di atas, ternyata ahlul bait, banyak menamakan anak-anak mereka dengan nama-nama sahabat, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan lain-lain.

Melihat hubungan kekerabatan yang nyata yang terjadi diantara mereka (sahabat dan ahlul bait) adalah tidak bisa disangkal bahwa hubungan tersebut mau tidak mau harus disertai oleh rasa kasih sayang dan pemuliaan. contohnya Ali bin Abi Thalib menikahi Asma’ binti Khumais yang merupakan janda dari Abu Bakar, dan beliau memelihara serta mengangkat anak Abu Bakar yaitu Muhammad bin Abu Bakar bahkan diantara keturunan mereka berdua (Abu Bakar dan Ali ra) terjalin ikatan kekerabatan yang erat , Imam Ali juga menikahkan putrinya yaitu Ummu Kultsum binti Ali dengan Khalifah Umar bin Khattab ra dan beliau menamakan salah satu putra beliau dengan nama Umar atas permintaan Khalifah Umar bin Khattab ra.

Dan bukti yang paling jelas bahwa beliau menghormati dan memuliakan Abu Bakar dan Umar ra adalah perkataan beliau mengenai keutamaan Abu Bakar dan Umar ra :

Hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri yang diriwayatkan secara mustafidlah dari Muhammad Ibnil Hanafiyah:

قُلْتُ ِلأَبِيأَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهَ ?؟ قَالَأَبُو بَكْرٍقَلْتُثُمَّ مَنْ؟ قَالَعُمَرُوَخَشِيْتُ أَنْ يَقُوْلَ عُثْمَانُقُلْتُثُمَّ أَنْْتَ؟ قَالَمَا أَنَا إِلاَّرَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَرواه البخاري: كتاب فضائل الصحابة باب 4 وفتح البارى 7/20

Aku bertanya kepada bapakku (yakni Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu): Siapakah manusia yang terbaik setelah Rasulullah ? ? Ia menjawab: “Abu Bakar”. Aku bertanya (lagi): “Kemudian siapa?”. Ia menjawab: “Umar”. Dan aku khawatir ia akan berkata Utsman, maka aku mengatakan: “Kemudian engkau?” Beliau menjawab: “Tidaklah aku kecuali seorang dari kalangan muslimin”. (HR. Bukhari, kitab Fadlailus Shahabah, bab 4 dan Fathul Bari juz 4/20)

Wallahu A’lam bishowab.

Sikap Proporsional kepada Para Sahabat Nabi SAW

Kali ini kita akan melihat bagaimana konsep Ahlus Sunnah dalam bersikap terhadap sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Selain itu, akan kita lihat juga bagaimana beberapa firqah (kelompok) seperti syi’ah, khawarij, dan nashibi, terhadap para sahabat. Kita akan lihat bahwa Ahlus Sunnah adalah madzhab pertengahan yang mendapatkan petunjuk dari Allah ‘Azza wa Jalladalam menyikapi berbagai persoalan.
  1. 1.       Sikap Kaum Syi’ah  (Rafidhah)

Berkata  Syaikh Muhammad Khalil Hiras tentang mereka:

الْمَعْرُوفُ أَنَّ الرَّافِضَةَ قَبَّحَهُمُ اللَّهُ يَسُبُّونَ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ، وَيَلْعَنُونَهُمْ ، وَرُبَّمَا كَفَّرُوهُمْ أَوْ كَفَّرُوا بَعْضَهُمْ ، وَالْغَالِبِيَّةُ مِنْهُمْ مَعَ سَبِّهِمْ لِكَثِيرٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالْخُلَفَاءِ يَغْلُونَ فِي عَلِيٍّ وَأَوْلَادِهِ ، وَيَعْتَقِدُونَ فِيهِمُ الْإِلَهِيَّةَ وَقَدْ ظَهَرَ هَؤُلَاءِ فِي حَيَاةِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِزِعَامَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبَأٍ الَّذِي كَانَ يَهُودِيًّا وَأَسْلَمَ وَأَرَادَ أَنْ يَكِيدَ لِلْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ ؛ كَمَا كَادَ الْيَهُودُ مِنْ قَبْلُ لِلنَّصْرَانِيَّةِ وَأَفْسَدُوهَا عَلَى أَهْلِهَا ، وَقَدْ حَرَّقَهُمْ عَلِيٌّ بِالنَّارِ لِإِطْفَاءِ فِتْنَتِهِمْ.

“Telah diketahui, bahwa kaum rafidhah –semoga Allah burukkan mereka-  telah mencaci para sahabat Radhiallahu ‘Anhum,bahkan ada yang mengkafirkan mereka atau mengkafirkan sebagiannya, mayoritas mereka telah mencela kebanyakan para sahabat dan khalifah, dan mereka mengkultus Ali dan anak cucunyanya, dan mereka meyakini mereka (Ali dan anak cucunya) memiliki sifat ketuhanan. Mereka ini nampak pada masa Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu,  yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi yang masuk Islam dengan tujuan membuat tipu daya terhadap Islam dan pemeluknya, sebagaimana Yahudi terdahulu telah membuat tipu daya terhadap Nasrani dan pemeluknya untuk merusak mereka.

Maka, Ali bin Abi Thalib menghukum mati mereka dengan membakarnya demi menutp fitnah yang mereka hasilkan.” (Syaikh Muhammad Khalil Hiras, Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Hal. 253. Ar Riasah Al ‘Amah Li Idarat Al Buhuts Al ‘ilmiyah wal Ifta’ wal Da’wah wal Irsyad)

Sementara itu, Syaikh Said bin Ali Wafh Al Qahthani dalam kitabnya, yang berjudul sama, Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah berkata lebih luas lagi sebagai berikut:
“Ar Rafidhahyaitu segolongan dari  syiah, mereka melampaui batas (ghuluw) dalam memuliakan Ali Radhiallahu ‘Anhudan Ahli Bait. Mereka memproklamirkan permusuhan terhadap mayoritas sahabat nabi seperti yang tiga (Abu Bakar, Umar, dan Utsman, pen), mengkafirkan mereka, dan orang-orang yang mengikuti mereka, dan mengkafirkan orang-orang yang memerangi Ali (yakni Aisyah dan pengikutnya ketika perang Jamal, atau Mu’awiyah dan pengikutnya dalam perang Shiffinpen).

Mereka mengatakan sesungguhnya Ali adalah Imam yang ma’shum.  Alasan kenapa mereka dinamakan rafidhah, karena mereka meninggalkan (rafadhuu) Zaid bin Ali bin al Husein ketika mereka  mengatakan berlepas diri dari syaikhain (dua syaikh) yaitu Abu bakar dan Umar.  Maka Zaid berkata: “Allah melindungi penolong kakekku” (maksudnya Allah melindungi Abu Bakar dan Umar, yang pernah menolong kakeknya, Ali bin Abi Thalib, pen). Karena itu, mereka meninggalkannya, maka mereka dinamakan rafidhah.

Sedangkan kelompok Zaidiyah mereka mengatakan, kami  mengikuti mereka berdua (Abu Bakar dan Umar)  dan berlepas diri dari orang yang memutuskan hubungan dengan mereka berdua, dan mereka mengikuti Zaid bin Ali bin al Husein, karena itu mereka disebut Zaidiyah (lebih tenar disebut syiah zaidiyah, syiah yang moderat, pen). (Syaikh Said bin Ali Wahf Al Qahthani, Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Hal. 57. Mu’asasah Al Juraisi)

Demikian jahatnya mereka terhadap para sahabat nabi, sampai-sampai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahmenceritakan:

وفضلت اليهود والنصارى على الرافضة بخصلتين سئلت اليهود من خير أهل ملتكم قالوا أصحاب موسى وسئلت النصاري من خير 
أهل ملتكم قالوا حواري عيسى وسئلت الرافضة من شر أهل ملتكم قالوا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم أمروا بالاستغفار لهم فسبوهم

                “Orang-orang Yahudi dan Nasrani lebih baik daripada orang-orang Rafidhah  dalam dua perkara. Aku pernah bertanya kepada orang-orang Yahudi, “Siapakah orang Yahudi yang terbaik?’ mereka menjawab; para sahabat Musa. Aku pernah bertanya kepada orang-orang Nasrani; ”Siapakah orang nasrani yang paling baik?” mereka menjawab para,” Hawari ‘Isa. “Aku juga bertanya kepada orang-orang Rafidhah,” Siapakah manusia yang paling buruk?” mereka menjawab,”Sahabat Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Begitulah mereka diperintahkan agar beristighfar untuk mereka (para sahabat), tetapi justru mencela mereka…”.(Minhajus Sunnah, Juz. 1, Hal. 27. Tahqiq: Muhammad Rasyad Salim. Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh)

Syi’ah Al Imamiyah Itsna ‘Asyariyah (Imam 12) Menganggap Para sahabat telah Murtad dan Munafik  

Syi’ah aliran ‘Imam 12’ adalah syi’ah mayoritas yang ada saat ini. Menurut mereka sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seluruh para sahabat telah murtad, kecuali Abu Dzar, Salman, dan Miqdad. Salah seorang tokoh besar mereka, At-Tusturiy berkata, “Sebagaimana Musa telah datang untuk memberi petunjuk dan berhasil memberi petunjuk kepada banyak orang dari kalangan Bani Israil dan selain mereka, lalu mereka murtad di saat Musa masih hidup dan hanya Nabi Harun ‘Alais Salam saja yang bertahan di atas keimanannya, demikian pula Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah datang dan memberi petunjuk kepada banyak orang, akan tetapi mereka murtad sepeninggal beliau.” (At Tustury, Ihqaqu Al Haq, Hal. 316)

                Dia juga berkata, “Mereka sebenarnya tidak memeluk Islam tapi hanya menginginkan kedudukan Nabi….. selalunya mereka menyandang kenifakan dan mengalirkan perselisihan.” (Ibid, Hal. 3)

                Inilah tuduhan keji kaum Syi’ah terhadap para sahabat yang telah Allah ‘Azza wa Jalla muliakan dalam Al Quran (nanti akan kami buktikan), dan dipuji oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tuduhan ini justru bertentangan dengan perkataan Imam mereka sendiri, yaitu Imam Ja’far Ash Shadiq.

” Sahabat Rasul Shallalahu ‘Alahi Wasallam  ada 12 000 orang, 8000 dari Madinah dan 1000 dari Makkah dan 2000 dariThulaqa.Tidak terlihat diantara mereka orang Qadariyah, Haruriyah, Mu’tazilah ataupun penyembah akal, mereka menangis siang dan malam dan berkata ,” Ambilah nyawa kami sebelum kami memakan roti beragi.” (Hasan Asy Syirazi, Asy Sya’air Al Husainiyah, Hal. 8-9)
Bukti-bukti Kejahatan Pemikiran Syi’ah Terhadap Para Sahabat Nabi

                Kami akan buktikan kejahatan mereka terhadap para sahabat, khususnya kepada Abu Bakar, Umar, Utsman,  dan ‘Aisyah. Juga akan kami paparkan secara global kejahatan mereka terhadap para sahabat nabi lainnya. Walaupun catatan kejahatan mereka terhadap sahabat lain juga sangat banyak.

Kejahatan Terhadap Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhuma

Mereka telah membuat kisah-kisah dusta mengatasnamakan orang-orang mulia. Mereka mengatakan bahwa ketika Ali hendak di bai’at, Ali berkata:” Bertepuklah, Allah telah melaknat dua orang”. (Ash Shafar, Bashirud Darajah Al Kubra, Hal. 412)Dalam As Saqifah, Sulaim Bin Qois mengatakan Ali senantiasa melaknat syaikhani (dua orang Syaikh, yakni Abu Bakar dan Umar).Demikian pula- menurut anggapan mereka- Imam Ja’far Ash Shadiq melaknat keduanya setiap selesai shalat wajib. (Al Kurky,Nufatu Al Lahut, q 6/alif 774/ba’)

                Kaum syi’ah juga bersemangat mengarang doa-doa dusta yang berisi laknat atas Abu Bakar dan Umar, lalu mereka mengklaim bahwa doa tersebut dikarang oleh Ali, dan Ali senantiasa membacanya ketika qunut. Semoga Allah Ta’ala memburukkan wajah para pendusta itu.

Diantaranya satu do’a yang berjudul “ Do’a untuk dua berhala quraisy”. Do’a ini merupakan do’a khusus bagi kaum Syi’ah dalam melaknat Syaikhani dan dua putrinya yang menjadi isteri Rasul Shalallohu ‘Alaihi Wasalam. Menurut mereka Ali Bin Abi Thalib Radiyallahu ‘Anhu juga berqunut dengan do’a ini dalam shalat witirnya. (Al Kasyani, Ilmu Al Yaqin, 2/701)

Kepada Imam Ahli Bait mereka menisbahkan keutamaan hadits ini- yang semuanya adalah dusta- bahwa barang siapa yang membaca do’a ini sekali Allah akan menulis baginya 70.000 kebaikan, menghapus 70.000 keburukan dan mengangkat 70.000 derajat serta memenuhi puluhan ribu kebutuhannya. (Dhiya’u Ash Shalihin, hal.513)

Bahkan, kaum Syi’ah telah memberikan pembelaan terhadap Abu Lu’Lu’ah seorang kafir Majusi pembunuh Umar Al Faruq. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:

وينتصرون لأبي لؤلؤة الكافر المجوسي ومنهم من يقول اللهم أرض عن أبي لؤلؤة واحشرني معه

                “Mereka membela Abu Lu’lu’ah, seorang kafir Majusi, dan di antara mereka ada yang berdoa: “Ya Allah ridhailah Abu Lu’lu’ah, dan kumpulkanlah aku bersamanya.” (Minhajus Sunnah, Juz. 6, Hal. 370-371) Ya! Semoga mereka dikumpulkan bersama Abu Lu’Lu’ah ….

Ash Shaduq meriwayatkan –riwayat dusta- dari Ja’far Ash Shadiq beliau berkata,” Neraka itu memilki tujuh buah pintu yang akan dimasuki  Fir’aun, Hamman dan Qarun….”.(Ash Shaduq, Al Khishal, 2/361-362) menurut mereka, Fir’aun adalah Abu Bakar, Hamman adalah Umar, dan Qarun adalah  Abdurrahman bin ‘Auf. (Al Kasyani, Ilmul Yaqin,    2/732)

Inilah sebagian kecil saja kejahatan mereka terhadap Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘Anhuma.

Kejahatan Terhadap Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhu

                Kedustaan selanjutnya adalah kejahatan mereka terhadap dzu nurain, Utsman bin Affan. Mereka menjulukinya Na’tsal(anjing hutan jantan), mereka menyebut beliau dengan nama itu karena menurut mereka ada kemiripan yang sangat antara Sahabat Utsman Bin Affan Radhiallahu ‘Anhu dengan anjing hutan jantan. Anjing hutan jantan jika memburu mangsanya ia menyetubuhinya terlebih dulu baru memakannya, sedang Utsman Bin Affan – beliau suci dari tuduhan ini- Ia menetapkan hukum had bagi seorang wanita lalu ia menjima’nya untuk kemudian menyuruh merajamnya. ( At Tusturi, Ihqaq Al Haq, Hal. 306) demikianlah kedustaan mereka.

Mereka menisbatkan sebuah perkataan dusta kepada Ali Radhiallahu ‘Anhu bahwa ia berkata tentang Utsman,”Hasratnya hanya perut dan kemaluan: Diriwayatkan dari Al Kulaini dengan sanadnya dalam kitab Al Kafi dari Ali Bin Abi Thalib ia berkata dalam salah satu khutbahnya,” Dua orang telah mendahului, dan yang ketiga seperti burung gagak, hasratnya hanya  perut dan kemaluanya, celakalah ia jika sayapnya digunting dan kepalanya dipotong niscaya itu lebih baik baginya. (Ibnu Tawus, At Taraf, hal 417)

Bukan hanya itu, kaum Syi’ah juga mengkafirkan Utsman dan orang-orang yang tidak mencela Utsman.  Ni’matullah Al Jaza’iri berkata :”Sesungguhnya Utsman dizaman Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan nifak.”

Al Kurky berkata, ”Sesungguhnya orang yang dihatinya tidak memusuhi Utsman, menghalalkan kehormatannya dan tidak meyakini kekafirannya maka dia adalah musuh Allah dan RasulNya, kafir terhadap apa yang diturunkan Allah.” (Al Kurky, Nufhatu Al Lahut, q 57/alif)

Inilah sebagian kecil saja kejahatan mereka terhadap Utsman Radhiallahu ‘Anhu.

Kejahatan Syi’ah Terhadap ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha

Syi’ah juga mengarang cerita bahwa Aisyah memiliki satu pintu di Neraka yang bakal dimasukinya. Al Ayashy menyandarkan riwayat kepada Ja’far Ash Shadiq Rahimahullah– Dan sungguh ia suci dari apa yang mereka nisbahkan- Ia berkata mengenai tafsir ayat Al Qur’an tentang neraka” “لها سبعة أبواب” ( ia memiliki tujuh pintu):” Jahanam didatangkan,ia memiliki tujuh buah pintu…dan pintu ke enam untuk askar…dst. (Al-Majlisy, Biharul Anwar, 4/378)

Askar adalah kinayah (perumpamaan) dari Aisyah RA, sebagaimana  dituduhkan Al Majlisi. Al Majlisi menerangkan dinamakan demikian karena diwaktu perang Jamal beliau mengendarai Unta yang bernama Askar. (Al-Baidlawy, Ash Shiratul Mustaqim, 3/131)

Tak puas dengan ini, kaum syi’ah menjuluki beliau dalam beberapa kitab Syi’ah dengan “Ummu Syurur” (Ibid)  yang berarti “ Biang kejelekan” dan “ Syaithanah” (Ash Shaduq, Al-Khishalu, 1/190) artinya “setan perempuan”. Mereka menuduhnya telah berdusta kepada Rasulullah. (Al Kalibiy, Al Ushulu minal Kafi, 1/247) Dan bahwa sebutan “ Khumaira’”  adalah gelar yang dibenci Allah. (Al-Muhibbu Ath Thabary, As-Samthu Ats Tsamin fi Manaqibi Ummahatil Mukminin, hal. 30) Jadi menurut Syi’ah, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha adalah kafir, tidak beriman dan termasuk ahli neraka.

Inilah sebagian kecil saja kejahatan mereka terhadap ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha.

Kejatahan Syi’ah Terhadap Para Sahabat Nabi lainnya

Al Kurki dan Al Majlisi- para pembesar ulama syi’ah- menyebutkan bahwa Ja’far Ash Shadiq –dan sungguh  beliau jauh dari apa yang mereka tuduhkan- melakanat setiap kali selesai shalat empat orang laki-laki : At Tamimy  Al’Adawy – Abu Bakar dan Umar-, Utsman dan Muawiyah. Dan empat orang perempuan : Aisyah, Hafsah, Hindun dan Ummu Hakam, saudara Muawiyah. (Al Majlisy, ‘Ainul Hayah, hal. 599)

Dalam hal melaknat dan tentang sikap berlepas diri mereka : Ibnu Rahawaih Al Qummi –bergelar Ash Shaduq- dan Al Majlisi menukil ijma’ kaum Syi’ah akan hal tersebut, keduannya berkata:” Aqidah kita dalam Al Bara’ adalah : Kita berlepas diri dari empat berhala : Abu Bakar Umar, Utsman dan Muawiyah. Dan empat orang wanita: Aisyah, Hafsah, Hindun dan Ummul Hakam  juga seluruh pengikut serta golongannya. Dan mereka adalah seburuk-buruk makhluq di muka bumi. Dan tidak sempurna iman seseorang kepada Allah, Rasul dan para Imam  kecuali setelah bara’ dari musuh-musuhnya”. (Ash-Shaduq, Al Hidayah, Q 110/A dan Al Majlisy, Haqqul Yaqin,  hal. 59)

Al Bara’ artinya berlepas diri, memusuhi, dan benci. Demikianlah pengakuan mereka sendiri terhadap para sahabat nabi dan isterinya, bahkan sikap itu menjadi standar keimanan bagi mereka.

Mereka juga menuduh Muawiyah masih saja melakukan kesyirikan dan menyembah berhala meski sudah masuk Islam hingga sekian lama. (Az Zanjani, Aqaid  Syi’ah Imamiyah Al Itsna Asyariyah, 3/61). Ia menampakkan keislamannya hanya berselang lima bulan sebelum Nabi wafat. (Al Kurki, Nufhatu Al Nufhatu Al Lahut,  qaf 14/ba’-1526/alif) dan masuk Islam hanya karena takut akan pedang  (Muhammad Ali Al Hasani, Fi Zhilali At Tasyayu’,   hal 286) oleh sebab itu ia hanya muslim namanya saja karena ia masih seperti kaum jahiliyah terdahulu  (Murtadha Al Askari, Muqaddimah Mir’atu Al Uqul, 1/38) sampai-sampai matipun di lehernya dikalungi salib (Al Bayadhi, As Sirat Al Mustaqim, 3/50)

Muawiyah itu lebih buruk dari Iblis(Al Hali, Minhajul Karamah, hal 116)  sikap kezindikannya melebihi Iblis (Mamaqani, Tanqihul Maqal, 3/222). Ia benar-benar seorang pemimpin kesesatan (Ibnu Abi Al Hadid, Syarh Nahju Al Balaghah, 20/15)  , Imam kekafiran (Al Murtadha, Asy Syafie,  hal.287), Fir’aunnya Umat ini (Ash Shaduq, Al Khisal, 2/457-460) , munafik, keras kepala atau “ngeyel” terhadap Allah, Rasul dan kaum Mukminin. (Muhammad Jawwad Mughniyah, Asy Syi’ah wal Hakimun, hal. 39) Musuh keluarga MuhammadShallalahu ‘Alahi wa Sallam terutama Ali Bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu. (Mughniyah, Asy Syi’ah wal Mizan, hal 255). Ia mati dalam keadaan kafir sehingga ia kekal dineraka.

Mereka melandaskan tuduhan bahwa Mu’awiyah kekal dineraka pada sabda Rasul yang menurut mereka pernah mengatakan,” Allah memperlihatkan kepadaku Hari Kiamat dan huru-haranya dalam tidurku, jannah dan kenikmatannya, neraka berikut azab, aku melihat neraka tiba-tiba aku melihat Muawiyah Bin Abu Sufyan dan Amru Bin Al Ash sedang berdiri diatas bara jahanam dan kepalanya dilempari batu jahanam oleh malaikat Zabaniyah yang berkata kepada keduanya ,” Tidakkah kamu beriman pada kekuasaan Ali ‘Alaihi Salam?!”. (Al BahraniAl Burhan, 4/477-478)

Demikianlah setetes kejahatan Syi’ah terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Semoga Allah Ta’ala hancurkan mulut-mulut mereka.

2.       Sikap Kaum Khawarij

Tentang mereka, berkata Syaikh Muhammad Khalil Hiras sebagai berikut:

وَأَمَّا الْخَوَارِجُ ؛ فَقَدْ قَابَلُوا هَؤُلَاءِ الرَّوَافِضَ ، فَكَفَّرُوا عَلِيًّا وَمُعَاوِيَةَ وَمَنْ مَعَهُمَا مِنَ الصَّحَابَةِ ، وَقَاتَلُوهُمْ وَاسْتَحَلُّوا دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ .
“Ada pun Khawarij, mereka bertolak belakang dnegan syi’ah, mereka mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah dan para sahabat yang mengikuti mereka berdua, mereka memeranginya, dan menghalalkan darah dan harta meraka (Ali dan Muawiyah serta pengikutnya, pen).” (Syaikh Muhammad Khalil Hiras, Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Hal. 254)

Demikianlah, kaum Khawarij tidak mengkafirkan sebagian besar sahabat, hanya mengkafirkan para sahabat setekah peristiwa tahkim (arbitrase) pasca perang Shiffin antara kubu Ali yang diwakili Abu Musa Al Asy’ari melawan kubu Mu’awiyah yang diwakili oleh Amr bin Al ‘Ash. Mereka mengkafirkan orang-orang yang ikut peristiwa itu, lantara menurut mereka, para sahabat ini telah melakukan tahkim (menetapkan keputusan) dengan hukum buatan manusia (yakni Abu Musa dan Amr), karena menurut mereka Inil Hukmu Illa Lillah (hukum itu hanya milik Allah).

Jadi, lantaran peristiwa politik ini, berbuntut lahirnya dua gerakan teologi ekstrim, yakni Syi’ah (pengikut) Ali dan Khawarij (dari kata kharaja artinya keluar) yang mengkafirkan Ali. Sementara Ahlus Sunnah yakni jumlah mayoritas bersikap seadil-adilnya, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.



3.       Sikap Kaum Nashibi

Syaikh Said bin Ali Wahf Al Qahthani mengatakan:

“An Nawashib, mereka memproklamirkan permusuhan terhadap Ahli Bait dan melaknat apa-apa yang ada pada mereka.”(Syaikh Said bin Ali, Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Hal. 59)

Mereka memusuh Ali, Fathimah, dan semua keturunannya. Perbedaannya dengan khawarij adalah khawarij selain Ahlul Bait dan pengikutnya, juga melaknat Muawiyah dan pengikutnya.

4.       Sikap Ahlus Sunnah wal Jamaah

Syaikh Muhammad Khalil Hiras mengatakan:

وَأَمَّا أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ؛ فَكَانُوا وَسَطًا بَيْنَ غُلُوِّ هَؤُلَاءِ وَتَقْصِيرِ أُولَئِكَ ، وَهَدَاهُمُ اللَّهُ إِلَى الِاعْتِرَافِ بِفَضْلِ أَصْحَابِ نَبِيِّهِمْ ، وَأَنَّهُمْ أَكْمَلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِيمَانًا وَإِسْلَامًا وَعِلْمًا وَحِكْمَةً ، وَلَكِنَّهُمْ لَمْ يَغْلُوا فِيهِمْ ، وَلَمْ يَعْتَقِدُوا عِصْمَتَهُمْ ؛ بَلْ قَامُوا بِحُقُوقِهِمْ ، وَأَحَبُّوهُمْ لِعَظِيمِ سَابِقَتِهِمْ وَحُسْنِ بَلَائِهِمْ فِي نُصْرَةِ الْإِسْلَامِ وَجِهَادِهِمْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .

“Ada pun Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka golongan pertengahan antara yang mereka yang ekstrim dan mereka yang meremehkan. Allah telah memberikan mereka petunjuk untuk mengetahui keutamaan para sahabat nabi mereka, dalam umat ini mereka adalah yang paling sempurna keimanan, keislaman, keilmuan dan hikmah. Tetapi mereka tidak pernah melampaui batas terhadap para sahabat, tidak meyakini mereka memiliki ‘ishmah (bebas dari dosa), bahkan mereka bersikap sesuai hak para sahabat, mencintai mereka lantaran terdahulunya mereka dan bagusnya ujian mereka dalam membela Islam dan jihad mereka bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Syaikh Muhammad Khalil Hiras, Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Hal. 254)

Syaikh Said bin Ali Wahf Al Qahthani mengatakan:

“Ahlus Sunnah wal Jamaah, Allah memberikan hidayah kepada mereka untuk tetap di atas kebenaran. Mereka bersikap tidak melampaui batas terhadap Ali Radhiallahu ‘Anhu dan Ahli bait, mereka tidak memusuhi para sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim, tidak  mengkafirkannya, tidak pula bersikap seperti golongan Nawashib yang memusuhi Ahli bait.

Bahkan mereka mengetahui hak keseluruhan mereka dan keutamaannya, dan mengikuti mereka serta mengutamakan mereka sesuai urutannya; Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali Radhiallahu ‘Anhum. Dan mereka tidak mau memasuki apa-apa (perselisihan, pen) yang terjadi di antara sahabat. Maka, mereka (Ahlus Sunnah) pertengahan antara ekstrimitas rafidhah atau sikap keras khawarij.  (Syaikh Said bin Ali, Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Hal. 59)

Ahlus Sunnah senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai pedoman mereka dalam hidup, termasuk dalam menyikapi kedudukan para sahabat Radhiallahu ‘Anhum. Ahlus Sunnah bersikap sebagaimana Al Quran dan As Sunnah bersikap.

Pujian Allah ‘Azza wa Jalla terhadap Para Sahabat

Allah Ta’ala berfirman:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath (48): 29)

Ayat ini begitu jelas pujian Allah ‘Azza wa Jalla terhadap orang-orang beriman yang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yaitu para sahabatnya. Kehadiran mereka dan perkembangan jumlah mereka yang begitu pesat membuat jengkel dan marah hati orang kafir. Oleh karena itu Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu mengatakan tentang kafirnya kaum Syi’ah:

لأنهم يغيظونهم، ومن غاظ الصحابة فهو كافر لهذه الآية. ووافقه طائفة من العلماء على ذلك
“Karena mereka (kaum Syi’ah) marah (jengkel) kepada para sahabat, dan barangsiapa yang marah kepada para sahabat, maka dia kafir menurut ayat ini. Dan sekelompok ulama menyepakati hal itu.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/362. Mu’asasah Ar Risalah)

Dalam ayat lain Allah ‘Azza wa Jalla telah mengakui keimanan, mereka diampuni, dan diberikan rezeki bagi para sahabat nabi, kaum muhajirin dan anshar:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

                “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al Anfal (8): 74)

Allah Ta’ala juga memuji pergaulan kaum muhajirin dan anshar:

Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan kebenaran orang-orang yang ikut hijrah:

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

“(juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. mereka Itulah orang-orang yang benar. dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung” (QS. Al Hasyr (59): 8-9)

Selain itu, Allah Ta’ala juga menyebut para sahabat dengan istilah khairu ummah (umat terbaik):

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran (3): 110)

Para salaf menafsirkan makna,  ‘Kamu adalah umat yang terbaik’ yakni para sahabat yang menyertai Rasulullah hijrah dari Mekkah ke Madinah. Inilah tafsir dari Ibnu Abbas sedangkan Umar bin Al Khathab   mengatakan itu adalah secara khusus ayat ini untuk para sahabat nabi, dan siapapun bisa menjadi umat terbaik dengan cara amr ma’ruf nahi munkar. Ikrimah mengatakan ayat ini turun tentang Ibnu Mas’ud, Salim pelayan Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka’ab, dan Muadz bin Jabal. Sementara, Adh Dhahak mengatakan itu tentang para saabat nabi. Sementara yang lain mengatakan, bahwa kalian ini adalah umat terbaik jika melakukan syarat-syaratnya, yakni amar ma’ruf nahi munkar. Ada juga yang mengatakan, kalian adalah umat terbaik bagi manusia, lantaran paling banyak merespon Islam. (Jami’ Al Bayan, 7/100-104)

Dalam ayat lain Allah ‘Azza wa Jalla telah menjanjikan surga bagi generasi As Sabiqunal Awwalun, kalangan muhajirin dan anshar, dan Allah ‘Azza wa Jalla telah meridhai mereka dan mereka pun ridha kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah (9); 100)

Ada tiga kelompok sahabat yang disebut dalam ayat ini, pertama, as sabiqunal awwalun. Kedua, muhajirin dan anshar. Ketiga, dan orang-orang yang mengikuti mereka.

Para ulama salaf mengatakan makna As Sabiqunal Awwalun (Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam) adalah orang-orang yang ikut dalam bai’atur ridhwan.[1] Inilah pendapat ‘Amir dan Asy Sya’bi. Ulama salaf yang lain mengatakan mereka adalah yang pernah mengalami shalat dengan dua kiblat, pernah  mengalami ketika kiblat masih menghadap Al Aqsha, dan ketika kiblat di pindah ke Ka’bah. Inilah pendapat Abu Musa Al Asy’ari, Said bin Al Musayyib, Muhammad bin Sirin, Asy’ats, dan Qatadah. (Ibid,   14/435-437) 

Sedangkan makna ‘dan orang-orang yang mengikuti mereka’ orang-orang yang berislam setelah peristiwa hijrah.  Imam Ibnu Jarir berkata:

وأما الذين اتبعوا المهاجرون الأولين والأنصار بإحسان، فهم الذين أسلموا لله إسلامَهم، وسلكوا منهاجهم في الهجرة والنصرة وأعمال الخير.
                “Ada pun orang-orang yang mengikuti orang-orang yang pertama hijrah dan kaum anshar dengan cara baik, maka mereka itulah yang memasrahkan dirinya kepada Allah dengan keislaman mereka, mereka menempuh jalan para endahulunya dalam hijrah, menolong, dan melakukan amal kebaikan.” (Ibid, 14/437)

                Tentang kemuliaan mereka, Allah Ta’ala telah menjelaskan dalam ayatNya:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr (59): 10)

Ayat lainnya:

وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ
Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Anfal (8): 75)

Sementara dalam ayat lain, Allah Ta’ala telah memberi ampunan kepada para sahabat, sebagai berikut:

لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.” (QS. At Taubah (9): 117)

                Para sahabat yang ikut Bai’atur Ridhwan juga mendapatkan pujian dari Allah Ta’ala:

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi Balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al Fath (48): 18)

Pada bulan Zulqa’idah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan ‘umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai’ah (janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat Al Fath ini, karena itu disebut Bai’atur RidhwanBai’atur Ridhwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk Mengadakan Perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.

Dan masih banyak ayat-ayat lainnya namun saya kira ini sudah mencukupi.


Pujian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Terhadap Para Sahabat secara Global

Pertama. Hadits ‘Sebaik-baiknya manusia adalah zamanku …’

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah zamanku, dan kemudian setelahnya, dan kemudian setelahnya.” (HR. Bukhari No. 2509, 3451, 6065, 6282. Muslim No. 2533. At Tirmidzi No. 2320, dari Imran bin Al Hushain)

Manusia zaman nabi tentunya adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Imam An Nawawi Rahimahullah menerangkan:

الصحيح أن قرنه صلى الله عليه وسلم والصحابة، والثاني التابعون، والثالث تابعوهم
                “Yang benar adalah bahwa  manusia terbaik adalah zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat, kedua tabi’in, ketiga adalah orang-orang yang mengikuti mereka.” (Syarh Shahih Muslim, Bab Fadhlush Shahabah, No. 4603. Mausu’ah Syuruh Al Hadits)

                Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri:

قوله: “خير الناس قرني” أي أهل قرني. قال الحافظ والمراد بقرن النبي صلى الله عليه وسلم في هذا الحديث الصحابة
“Sabdanya: Sebaik-baik manusia adalah zamankuyaitu yang hidup pada zamankuBerkata Al Hafizh (Ibnu Hajar), yang dimaksud pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits ini adalah sahabat nabi.” (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 6/469. Al Maktabah As Salafiyah. Madinah Al Munawarah)

Kedua. hadits ‘Jangan cela para sahabatku …’

Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

“Jangan kalian cela para sahabatku, seandainya salah seorang kalian menginfakkan emas sebesar Uhud itu tidak akan bisa menyamai satu mud-nya mereka bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari No. 3470. Muslim No. 2540. At Tirmidzi No. 3952)


Imam Al Baidhawi mengatakan:

مَعْنَى الْحَدِيث لَا يَنَال أَحَدكُمْ بِإِنْفَاقِ مِثْل أُحُد ذَهَبًا مِنْ الْفَضْل وَالْأَجْر مَا يَنَال أَحَدهمْ بِإِنْفَاقِ مُدّ طَعَام أَوْ نَصِيفه
                “Makna hadits adalah tidaklah infakkan kalian walau emas sebesar gunung Uhud mampu menyamai keutamaan dan pahala yang sudah diraih oleh salah seorang mereka (para sahabat) yang sebesar satu mud makanan atau setengahnya saja.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/34. Darul Fikr)

                Demikian keras larangan mencela para sahabat nabi, namun kaum Syi’ah mencela mereka, dan hal itu sama juga telah mencela orang-orang yang dicintainya.

Ketiga. Keutamaan Ahli Badr, ‘ Lakukan apa saja Allah Telah mengampuni kalian ..’
                Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اعملوا ما شئتم فقد غفرت لكم
                “Lakukan apa saja oleh kalian, kalian telah diampuni.” (HR. Bukhari No. 2845, 4025, 4608. At Tirmidzi No. 3360, Ibnu Abi Syaibah No. 51, 74. Al Hakim No. 6968, dari jalur Abu Hurairah, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4798, juga dari jalur Abu Hurairah)

Keempat. Keutamaan para Perserta Bai’atur Ridhwan‘Tidak akan masuk neraka orang yang ikut bai’at di bawah pohon ..’
Dalam Al Quran, Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji mereka. Berikut adalah pujian dari Rasulullah untuk mereka.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لا يدخل النار ممن بايع تحت الشجرة
                “Tidak akan masuk neraka orang-orang yang berbai’at di bawah pohon.” (HR. Abu Daud No. 4653. At Tirmidzi No. 3795, katanya: hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 7980)

                Dari Jabir juga, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ إِلَّا صَاحِبَ الْجَمَلِ الْأَحْمَرِ
                “Benar-benar akan masuk surga orang-orang yang berbai’at di bawah pohon, kecuali pemilik Unta Merah.” (HR. At Tirmidzi No. 3955, katanya: hasan gharib. Al Haitsami mengatakan, hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Bazar dari Ibnu Abbas, rijalnya shahih kecuali Hidasy bin ‘Iyasy, dia tsiqah, Majma’ Az Zawaid, 9/161)

                Al Qadhi ‘Iyadh menjelaskan tentang maksud ‘Pemilik Unta Merah.’ Katanya:

قيل : هو الجد بن قيس المنافق
                “Dikatakan: dia adalah Al Jadd bin Qais seorang munafiq.” (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim Syarh Shahih Muslim, 8/157. Maktabah Al Misykat)

Kelima. Menyakiti para sahabat adalah sama dengan menyakiti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي لَا تَتَّخِذُوهُمْ غَرَضًا بَعْدِي فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّي أَحَبَّهُمْ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِي أَبْغَضَهُمْ وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِي وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللَّهَ وَمَنْ آذَى اللَّهَ يُوشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ

“Bertaqwal-lah kalian kepada Allah terhadap hak-hak sahabatku, jangan jadikan mereka sasaran kata-kata keji setelah aku wafat.  Barangsiapa yang mencintai mereka (para sahabat) maka dengan kecintaanku, aku akan mencintai mereka (orang yang mencintai sahabat), dan barangsiapa yang membenci mereka, maka dengan kebencianku, aku akan membenci mereka (orang yang membenci sahabat), dan barangsiapa yang menyakiti mereka maka dia telah menyakiti aku, dan barangsiapa yang telah menyakiti aku, maka dia telah menyakiti Allah, dan barangsiapa yang menyakiti Allah, maka Dia akan memberinya azab.” (HR. At Tirmidzi No. 3954, katanya: hasan gharib. Ahmad No. 19641)

Pujian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Kepada Para Sahabat Secara Personal

Ingin sekali saya memaparkan berbagai keutamaan personal para sahabat, namun karena keterbatasan waktu dan ruang, saya hanya paparkan keutamaan para sahabat yang diserang oleh kaum Syi’ah, yakni Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Aisyah, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Mu’awiyah. Ini pun hanya sebagian nama-nama saja, sebenarnya lebih banyak lagi para sahabat yang dicela oleh kaum Syi’ah.

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وَاتَّفَقَ أَهْل السُّنَّة عَلَى أَنَّ أَفْضَلهمْ أَبُو بَكْر ، ثُمَّ عُمَر . قَالَ جُمْهُورهمْ : ثُمَّ عُثْمَان ، ثُمَّ عَلِيّ . وَقَالَ بَعْض أَهْل السُّنَّة مِنْ أَهْل الْكُوفَة بِتَقْدِيمِ عَلِيّ عَلَى عُثْمَان ، وَالصَّحِيح الْمَشْهُور تَقْدِيم عُثْمَان . قَالَ أَبُو مَنْصُور الْبَغْدَادِيّ : أَصْحَابنَا مُجْمِعُونَ عَلَى أَنَّ أَفْضَلهمْ الْخُلَفَاء الْأَرْبَعَة عَلَى التَّرْتِيب الْمَذْكُورَة ثُمَّ تَمَام الْعَشَرَة ، ثُمَّ أَهْل بَدْر ، ثُمَّ أُحُد ، ثُمَّ بَيْعَة الرِّضْوَان ، وَمِمَّنْ لَهُ مَزِيَّة أَهْل الْعَقَبَتَيْنِ مِنْ الْأَنْصَار ، وَكَذَلِكَ السَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ ، وَهُمْ مَنْ صَلَّى إِلَى الْقِبْلَتَيْنِ فِي قَوْل اِبْن الْمُسَيِّب وَطَائِفَة ، وَفِي قَوْل الشَّعْبِيّ أَهْل بَيْعَة الرِّضْوَان ، وَفِي قَوْل عَطَاء وَمُحَمَّد بْن كَعْب أَهْل بَدْر

                “Ahlus Sunnah telah sepakat bahwa sahabat yang paling utama adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Lalu mayoritas mengatakan: Utsman, kemudian Ali. Sebagian Ahlus Sunnah mengatakan dari  Penduduk Kufah  lebih mengutamakan Ali dibanding Utsman, yang shahih adalah mengutamakan Utsman. Abu Manshur Al Baghdadi berkata: ‘Sahabat-sahabat kami telah ijma’ bahwa para sahabat yang paling utama adalah khalifah yang empat sesuai urutan yang telah disebutkan, kemudian sepuluh orang (yang dijamin masuk surga), kemudian Ahli Badr, kemudian Uhud, kemudian Bai’atur Ridhwan, dan orang-orang mulia yang ikut serta dalam dua kali Bai’at ‘Aqabah dari kalangan Anshar, demikian juga as sabiqunal awwalun,  mereka adalah orang yang pernah mengenyam dua buah kiblat menurut Said bin Al Musayyib, dan menurut Asy Sya’bi mereka adalah pengikut Bai’atur Ridhwan, ada pun menurut Atha’, Muhammad bin Ka’ab, mereka adalah Ahli Badr. (Syarh Shahih Muslim, Muqadimah Bab Fadhailush Shahabah, Mausu’ah Syuruh Al Hadits)

                Tentang urutan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, memiliki dasar shahih sebagai berikut:

Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu, berkata:

كُنَّا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَعْدِلُ بِأَبِي بَكْرٍ أَحَدًا ثُمَّ عُمَرَ ثُمَّ عُثْمَانَ ثُمَّ نَتْرُكُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نُفَاضِلُ بَيْنَهُمْ

                “Dahulu kami pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidaklah membandingkan Ab Bakar dengan siapa pun, kemudian Umar, kemudian Utsman, barulah kami membiarkan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kami tidak mengutamakan satu sama lain di antara mereka.” (HR. Bukhari No. 3455, 3494)


Keutamaan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ وَلَكِنْ أَخِي وَصَاحِبِي

“Seandainya saya mengambil kekasih dari kalangan umatku, maka aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasihku, tetapi dia adalah saudaraku dan sahabatku.” (HR. Bukhari No. 3456)

                Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) Maka Sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang Dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu Dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita.”  (QS. At Taubah (9): 40)

Imam Bukhari meriwayatkan tentang ayat ini:

قالت عائشة وأبو سعيد وابن عباس رضي الله عنهم: وكان أبو بكر مع النبي صلى الله عليه وسلم في الغار

Berkata ‘Aisyah, Abu Said, dan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhum: adalah Abu Bakar bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam gua. (HR. Bukhari No. 3692)

                Ini juga diceritakan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq sendiri, katanya:

قلت للنبي صلى الله عليه وسلم وأنا في الغار: لو أن أحدهم نظر تحت قدميه لأبصرنا، فقال: (ما ظنك يا أبا بكر باثنين الله ثالثهما).
                “Aku berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan saat itu aku sedang di gua: ‘Seandainya salah seorang mereka melihat ke bawah kakinya niscaya kita akan terlihat.” Rasulullah bersabda: “Tidakkah engkau kira wahai Abu Bakar dengan dua orang, Allah-lah yang ketiganya.” (HR. Bukhari No. 3453, 4386, 3707)

Gelar Ash Shiddiq adalah pemberian Allah ‘Azza wa Jalla kepadanya, setelah peristiwa Isra’ Mi’raj. Abu Yahya berkata, aku mendengar   Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu bersumpah:

  أن الله أنزل اسم أبي بكر من السماء الصديق
                “Sesungguhnya Allah menurunkan nama dari langit bagi Abu Bakar dengan Ash Shiddiq.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 14. Ibnu Abi ‘Ashim, Al Ahad wal Matsani, No. 6, Abu Nu’aim, Ma’rifatu Ash Shahabah, No. 56)

                Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar: rijalnya tsiqat (kredibel) (Fathul Bari, 7/9. Darul Fikr. Lihat juga Tuhfah Al Ahwadzi, 10/138. Al Maktabah As Salafiyah) begitu juga kata Imam Al Haitsami (Majma’ Az Zawaid, 9/41. Darul Kutub Al ‘Ilmiah)sedangkan Imam As Suyuthi mengatakan jayyid shahih (Tarikhul Khulafa’, Hal. 11)

                Ucapan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu ini menjadi penegas dustanya kaum Syi’ah. Abu Bakar yang mereka sebut dengan ‘Fir’aun’ justru Ali telah membelanya.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أما إنك يا أبا بكر أول من يدخل الجنة من أمتي
                “Ada pun engka wahai Abu Bakar, adalah orang perama dari umatku yang akan masuk surga.” (HR. Abu Daud, No. 4652. Ath Thabrani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 538. Dishahihkan oleh Al Hakim, Tarikhul Khulafa’ Hal. 20)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah ridha bahwa Abu Bakar adalah penggantinya. Diriwayatkan oleh Jubeir bin Mut’im, dari ayahnya:

أتت امرأة النبي صلى الله عليه وسلم، فأمرها أن ترجع إليه، قالت: أرأيت إن جئت ولم أجدك؟ كأنها تقول: الموت، قال صلى الله عليه وسلم: (إن لم تجديني فأتي أبا بكر).

                “Datang seorang wanita kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka nabi memerintahkannya untuk kembali lagi kepadanya. Wanita itu berkata: ‘Apa pendapatmu jika aku datang tetapi tidak berjumpa lagi denganmu?’ Seakan wanita itu mengatakan: Sudah wafat. Beliau bersabda: ‘Jika angkau tidak menemui aku, maka datanglah kepada Abu Bakar.” (HR. Bukhari No. 3459, 6927, 6794. Muslim No.2386. At Tirmidzi  No. 3758)

                Imam As Suyuthi telah menulis demikian:

وفي حديث ابن زمعة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمرهم بالصلاة وكان أبو بكر غائباً فتقدم عمر فصلى فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” لا لا لا يأبى الله والمسلمون إلا أبا بكر يصلي بالناس أبو بكر ” . وفي حديث ابن عمر ” كبر عمر فسمع رسول الله صلى الله عليه وسلم تكبير فأطلع رأسه مغضباً فقال أين ابن أبي قحافة ” .
قال العلماء: في هذا الحديث أوضح دلالة على أن الصديق أفضل الصحابة على الإطلاق وأحقهم بالخلافة وأولاهم بالإمامة
               
 “Dalam hadits Ibnu Zam’ah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka shalat berjamaah dan saat itu Abu Bakar sedang tidak ada, maka majulah Umar ke depan, Nabi bersabda: “Tidak, tidak, tidak, Allah dan kaum msulimin akan menolak kecuali Abu Bakar, maka Abu Bakar pun shalat (jadi Imam) bersama manusia.”

Dalam riwayat Ibnu Umar: “Umar bin Al Khathab takbir (memimpin shalat berjamaah), maka Rasulullah mendengar takbirnya Umar, lalu dia menampakkan kepalanya dan berkata: “Di mana Ibnu Abi Quhafah (Abu Bakar)?”

Berkata para ulama: “Ini merupakan dalil yang jelas bahwa Abu Bakar merupakan sahabat paling utama secara mutlak, yang berhak dengan khilafah, dan paling utama dalam imamah.” (Tarikhul Khulafa’ Hal. 24)

                Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda kepada Abu Bakar:

أنت صاحبي على الحوض، وصاحبي في الغار

“Engkau adalah sahabatku di haudh (telaga) dan sahabatku di gua.” (HR. At Tirmidzi No. 3752, katanya: hasan shahih gharib. Alauddin Al Muttaqi A l Hindi, Kanzul ‘Ummal, No. 32559. Al Fadhl Sayyid Abul Ma’athi An Nuri, Al Musnad Al Jami’ No. 8183)

                Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda kepada Abu Bakar:

 من أصبح منكم اليوم صائما؟ ” قال أبو بكر: أنا. قال “فمن تبع منكم اليوم جنازة؟ ” قال أبو بكر: أنا. قال “فمن أطعم منكم اليوم مسكينا؟ ” قال أبو بكر: أنا. قال “فمن عاد منكم اليوم مريضا؟” قال أبو بكر: أنا. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم “ما اجتمعن في امرئ إلا دخل الجنة

                “Siapakah di antara kalian yang berpuasa pagi ini?”, Abu Bakar menjawab: “Saya.” Beliau bersabda lagi: “Siapa di antara kalian yang ikut meiringi jenazah hari ini?”, Abu Bakar menjawab: “Saya.” Beliau bersabda lagi: “Siapa di antara kalian yang memberi makan orang miskin hari ini?”, Abu Bakar menjawab: “Saya.” Beliau bersabda lagi: “Siapa di antara kalian yang sudah menjenguk orang sakit hari ini?”, Abu Bakar menjawab: “Saya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidaklah semuanya terkumpul pada seseorang melainkan dia akan masuk surga.” (HR. Muslim No. 1028)

Keutamaan Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu

                Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda:

لقد كان فيما كان قبلكم من الأمم ناس محدثون، فإن يكن في أمتي أحد فإنه عمر

“Telah ada pada zaman sebelum kalian umat manusia yang muhaddatsun, jika ada umatku yang seperti itu, maka Umar-lah orangnya.” (HR. Bukhari No. 3486. At Tirmidzi No. 3776)

Imam An Nawawi menyebutkan, bahwa Muhaddatsun menurut Ibnu Wahab adalah orang yang mendapatkan ilham. Ulama lain: yang  zhan (prasangka)nya benar.  Ulama lain: diajak bicara oleh malaikat. Imam Bukhari: orang yang selalu berbicara benar, dan merupakan kepastian karamah bagi para wali. (Syarh Shahih Muslim, No. 4411. Mausu’ah Syuruh Al Hadits)

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن الشيطان ليخاف منك يا عمر

“Sesungguhnya syetan benar-benar takut kepadamu wahai Umar.” (HR. At Tirmidzi No. 3773, katanya: hasan shahih gharib)

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إيها يا ابن الخطاب، والذي نفسي بيده، ما لقيك الشيطان سالكا فجا قط إلا سلك فجا غير فجك

“Wahai Ibnul Khathab, demi yang jiwaku ada di tanganNya, tidaklah syetan bertemu denganmu di sebuah jalan sedikit pun, melainkan dia akan menempuh jalan lain selain jalanmu.” (HR. Bukhari No. 3120, 3480. Muslim No. 2396)

Berkata Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:

ما زلنا أعزة منذ أسلم عمر.

“Kami senantiasa memiliki ‘izzah semenjak keislaman Umar.” (HR. Bukhari No. 3481)
               
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu:

أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه وسلم عن الساعة، فقال: متى الساعة؟ قال: (وماذا أعددت لها). قال: لا شيء، إلا أني أحب الله ورسوله صلى الله عليه وسلم، فقال: (أنت مع من أحببت). قال أنس: فما فرحنا بشيء فرحنا بقول النبي صلى الله عليه وسلم: (أنت مع من أحببت). قال أنس: فأنا أحب النبي صلى الله عليه وسلم وأبا بكر وعمر، وأرجو أن أكون معهم بحبي إياهم، وإن لم أعمل بمثل أعمالهم.

                “Bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kiamat, dia bertanya: “Kapankah kiamat?” Beliau bersabda: “Apa yang kau telah persiapkan?” Laki-laki itu menjawab: “Tidak ada, kecuali aku mencintai Allah dan RasulNya.” Maka Nabi bersabda: “Engkau akan hidup bersama orang yang engkau cintai.” Anas berkata: “Tidaklah ada kebahagiaanku terhadap sesuatu seperti kebahagianku dengan ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Engkau akan hidup bersama orang yang engkau cintai.” Berkata Anas: “Saya mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, dan Umar, aku berharap bisa bersama mereka dengan kehidupan seperti mereka, walau pun amalku tidaklah sebanding dengan amal mereka.” (HR. Bukhari No. 3485,  5815, 5819, 6734)

                Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه
                “Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran atas lisan dan hati Umar.” (HR. At Tirmidzi No. 3765, katanya:hasan shahih gharib. Imam Al Hakim menshahihkan, Al Mutadrak No. 4476 )

                Dari ‘Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لو كان نبي بعدي لكان عمر بن الخطاب
                “Seandainya ada nabi setelah aku, maka Umar bin Al Khathab orangnya.” (HR. At Tirmidzi No. 3769, katanya: hasan gharib. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 13911)

Dalam beberapa riwayat nama Abu Bakar dan Umar senantiasa digandengkan, di antaranya:

Dari Hudzaifah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
                
“Ikutilah oleh kalian dua orang setelahku, Abu Bakar dan Umar.” (HR. At Tirmidzi No. 3742, katanya: hasan. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah No. 97. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan hadits ini didhaifkan oleh Al Bazzar dan Ibnu Hazm, lantaran Abdul Malik pelayan Rib’iy adalah seorang yang majhul (tidak dikenal). Al Hakim telah meriwayatkan pula penguatnya dari jalur Ibnu Mas’ud, namun sanadnya terdapat Yahya bin Salamah bin Kuhail seorang yang dhaif. Lihat Talkhish Al Habir, No. 2592. Namun menurut Imam Al Munawi  hadits ini bisa dikuatkan oleh riwayat dari Ibnu Mas’ud tersebut, lihat Faidhul Qadir No. 1318-1319. Syaikh Al Albani pun menshahihkan riwayat dari Ibnu Mas’ud. Lihat  Shahihul Jami’ No. 1144)

Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri mengatakan, bahwa hadits ini menunjukkan bagusnya perjalanan hidup mereka berdua dan isyarat terhadap urusan kekhilafahan mereka berdua, sebagaimana dikatakan oleh Al Munawi. (Tuhfah Al Ahwadzi, 10/147. Al Maktabah As Salafiyah)

Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ما من نبي إلا وله وزيران من أهل السماء، ووزيران من أهل الأرض، فأما وزيراي من أهل السماء، فجبرئيل وميكائيل، وأما وزيراي من أهل الأرض فأبو بكر وعمر

“Tidaklah seorang nabi melainkan dia memiliki dua asisten dari penduduk langit, dan dua asisten dari peduduk dunia. Ada pun asistenku dari penduduk langit adalah Jibril dan Mikail, sedangkan asistenku dari penduduk dunia adalah Abu Bakar dan Umar.”(HR. At Tirmidzi No. 3761, katanya: hasan gharib. Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri mengatakan hadis ini juga dikeluarkan oleh Al Hakim, dia menshahihkannya. Lihat  Tuhfah Al Ahwadzi, 10/166 )

Keutamaan Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhu

                Dari Abu Amr, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من جهز جيش العسرة فله الجنة . فجهزه عثمان.
                “Barangsiapa yang membantu persiapan Jaisyul ‘Usrah, maka baginya surga.” Maka Utsman memberikan bantuan. (HR. Bukhari No. 2626)

                ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

دخل أبو بكر فلم تهتش له. ولم تباله. ثم دخل عمر فلم تهتش له ولم تباله. ثم دخل عثمان فجلست وسويت ثيابك! فقال “ألا أستحي من رجل تستحي منه الملائكة”.

                “Abu Bakar masuk kau tidak rapi-rapi untuknya dan tidak peduli. Kemudian Umar masuk kau tidak rapi-rapi untuknya dan tidak peduli. Kemudian masuk Utsman, kau duduk dan merapikan pakaianmu.” Maka Rasulullah bersabda: “Apakah aku tidak malu kepada laki-laki yang malaikat saja malu kepadanya?” (HR. Muslim No. 2401)


Keutamaan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu

Dari Abu Al Hasan Radhiallahu ‘Anhubahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أنت مني وأنا منك
                “Engkau adalah bagian dariku, dan Aku pun bagian darimu.” (HR. Bukhari No. 4005)

                Umar bin Al Khathab mengatakan ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal, beliau dalam keadaan ridha terhadap Ali bin Abi Thalib Radhialllahu ‘Anhu. (HR. Bukhari No. 3497)

                Dari Saad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada Ali:
أنت مني بمنزلة هارون من موسى. إلا أنه لا نبي بعدي
                “Kedudukanmu terhadapku, sama halnya kedudukan Harun terhada Musa, hanya saja tidak ada lagi Nabi setelah aku.”(HR. Muslim No. 2404)

Keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu ‘Anhu

Berkata Ibnu Abi Malikah:

أَوْتَرَ مُعَاوِيَةُ بَعْدَ الْعِشَاءِ بِرَكْعَةٍ وَعِنْدَهُ مَوْلًى لِابْنِ عَبَّاسٍ فَأَتَى ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ دَعْهُ فَإِنَّهُ قَدْ صَحِبَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Mu’awaiyah shalat witir dengan satu rakaat setelah ‘isya, dan di sisinya ada pelayan, lalu pelayan itu mendatangi Ibnu Abbas, berkatalah Ibnu Abbas: Biarkanlah dia, dia adalah sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Bukhari No. 3553)

                Dari Ibnu Abi Malikah, dia berkata:

قيل لابن عباس: هل لك في أمير المؤمنين معاوية، فإنه ما أوتر إلا بواحدة؟ قال: أصاب، إنه فقيه.

                Ditanyakan kepada Ibnu Abbas: apakah engkau tahu tentang amirul mu’minin Mu’awiyah, bahwa dia tidaklah witir kecuali satu rakaat?, Ibnu Abbas berkata: “Dia benar, dia itu seorang faqih (faham agama).” (HR. Bukhari No. 3554)

                Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar:

وَقَوْله : ” دَعْهُ ” أَيْ اُتْرُكْ الْقَوْل فِيهِ وَالْإِنْكَار عَلَيْهِ ” فَإِنَّهُ قَدْ صَحَّتْ ” أَيْ فَلَمْ يَفْعَل شَيْئًا إِلَّا بِمُسْتَنَدٍ

Ucapan Ibnu Abbas (tinggalkan dia) artinya biarkan dia. Ucapan ini di dalamnya terdapat pengingkaran atas pelayan tersebut, sesungghnya Mu’awiyah telah benar, artinya tidaklah dia melakukan sesuatu melainkan memiliki sandaran. (Fathul Bari, 7/104)

Keutamaan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha

                ‘Aisyah berkata, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadaku:

يا عائش، هذا جبريل يقرئك السلام). فقلت: وعليه السلام ورحمة الله وبركاته، ترى ما لا أرى. تريد رسول الله صلى الله عليه وسلم.
                “Wahai ‘Aisyah, ini Jibril kirim salam buatmu.” Aku menjawab: “ ’Alaihissalam wa Rahmatullah wa Barakatuh, kau melihat apa yang aku tidak lihat.” Yang dimaksud adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam(HR. Bukhari No. 3557, 3045)

                Berkata Abu Musa Al Asy’ari, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وفضل عائشة على النساء كفضل الثريد على سائر الطعام
                “Keutamaan ‘Aisyah dibanding para wanita adalah seperti keutamaan At Tsarid di atas semua makanan.” (HR. Bukhari No. 3230, 3558)

Ats Tsarid adalah roti yang dibubuhi daging, dan makanan paling bergengsi saat itu.

Demikianlah. Pandnagan Al Quran dan As Sunnah terhadap ara sahabat secara global dan khusus. Sebenarnya masih sangat banyak, namun ini sudah cukup mewakili sikap Ahlus Sunnah terhadap para sahabat nabi, yakni menyikapi mereka sebagaimana Allah dan RasulNya bersikap.

Wallahu A’lam