Oleh: Dr. Basim Amir*
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, keluarga,
para sahabat, dan pengikutnya yang tetap istiqomah sampai hari kiamat.
Berbicara tentang Syiah, tentunya kita sudah banyak mendengar tentang
aqidah-aqidah kaum Syiah, di antaranya adalah aqidah taqiyah. Akan
tetapi, banyak kaum Muslim yang mengira bahwa ajaran taqiyah itu mutlak
hanya milik kaum Syiah. Padahal sebenarnya di dalam Islam, taqiyah
memang ada syari’atnya sebagaimana yang termaktub jelas pada firman
Allah ta’ala dan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Hanya
saja, taqiyah yang dimiliki oleh kaum Syiah sangat jauh berbeda dengan
taqiyah yang diajarkan di dalam Islam.
Untuk memahami hakikat dan perbedaan antara taqiyah yang diajarkan
oleh Islam dan taqiyah ajaran Syiah, maka kita akan memahami tulisan Dr.
Basim Amir di bawah ini, yang membeberkan kebobrokan ajaran taqiyah
Syiah bersumber dari kitab-kitab panutan mereka.
Untuk mengetahui hakikat taqiyah syar’iyah dan taqiyah Syiah, perlu
diketahui perbedaan antara keduanya. Yang dimaksud dengan taqiyah
syar’iyah di sini adalah taqiyah yang diajarkan dalam Islam yang sesuai
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta sejalan dengan kaidah-kaidah dan
aturan syari’at Islam. Sedangkan taqiyah Syiah, adalah taqiyah dengan
pengertian sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ulama-ulama mereka
dalam buku-buku induk yang mereka jadikan pondasi ajaran mereka.
Dasar utama yang menjadi landasan adanya taqiyah syar’iyah terdapat dalam firman Allah surat Al-Imron ayat 28. Allah berfirman,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ
وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada
Allah kembali (mu).”
Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Al-Baghawi berkata, “Makna ayat
ini, bahwa Allah ta’ala melarang orang-orang beriman mengambil wali dan
teman dekat dari orang-orang kafir, kecuali jika orang kafir lebih
dominan dan lebih kuat, atau jika orang mukmin saat itu berada di tengah
kalangan orang kafir, maka pada saat itu orang mukmin boleh melakukan
tipu daya dengan perkataannya tetapi hatinya tetap beriman. Hal ini
dibolehkan untuk melindungi dirinya untuk melindungi harta, darah atau
rahasia kaum Muslim. Taqiyah seperti ini tidak dilakukan kecuali dalam
keadaan terpaksa takut akan dibunuh dan sejenisnya.” (1)
Di antara perbedaan mendasar antara taqiyah syar’iyah dan taqiyah Syiah adalah sebagai berikut:
Perbedaan Pertama: Taqiyah syar’iyah merupakan masalah furu’ (cabang) dalam agama, bukan masalah ushul (pokok).
Taqiyah Syar’iyah: Dalam ajaran islam taqiyah
syar’iyah ini bukan merupakan masalah ushul yang tidak boleh
ditinggalkan, tetapi merupakan masalah furu’ yang mana seorang muslim
boleh tidak melaksanakannya.
Taqiyah Syiah: Menurut mereka, taqiyah adalah ajaran
yang bersifat ushul, bahkan mereka menganggap orang yang tidak
bertaqiyah sebagai orang yang tidak mempunyai agama. Di dalam kitab
mereka disebutkan, Imam Ja’far As-Shadiq berkata, “Sesungguhnya sembilan
dari sepuluh agama ada pada taqiyah, dan tidak ada agama bagi orang
yang tidak bertaqiyah.” (2)
Mereka juga menisbatkan kepada Ja’far As-Shadiq sebuah perkataannya,
“Taqiyah itu agamaku dan agama nenek moyangku, dan tidak ada keimanan
bagi siapa yang tidak bertaqiyah.” (3) Dan juga perkataannya,
“Seandainya engkau mengatakan, ‘Orang yang meniggalkan taqiyah
kedudukannya seperti orang yang meniggalkan sholat,’ maka engkau adalah
orang jujur.” (4)
Dalam kitab mereka juga disebutkan bahwa Imam Ali bin Musa Ar-Ridha
(menurut keyakinan mereka) berkata, “Tidak ada keimanan bagi yang tidak
bertaqiyah, dan orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang
yang paling sering bertaqiyah, ” maka dikatakan kepadanya, “Wahai
keturunan Rasulullah, sampai kapan (keharusan taqiyah) itu? Dia berkata,
“Sampai waktu yang diketahui, yaitu keluarnya Qaim (Imam Mahdi) kita,
barang siapa yang meninggalkan taqiyah sebelum keluarnya Qaim kita, maka
bukan termasuk golongan kita.” (5)
Perbedaan Kedua: Taqiyah sar’iyah hanya dilakukan kepada orang kafir, bukan kepada orang mukmin.
Taqiyah syar’iyah: pada umumnya dilakukan oleh
seseorang untuk menghadapi orang kafir, sebagaimana firman Allah ta’ala
di atas yang dengan jelas menyebutkan hal itu, “Janganlah orang-orang
mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia
dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu
terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).”
(Al-Imran: 28)
Konteks ayat di atas adalah pembicaraan mengenai orang-orang kafir,
Ibnu Jarir berkata, “Taqiyah yang disebutkan Allah di ayat ini adalah
taqiyah yang hanya ditujukan untuk orang-orang kafir, bukan selain
mereka.” (6)
Sa’id bin Jubair juga berkata, “Di dalam Islam sebenarnya tidak ada
taqiyah, tapi taqiyah hanya untuk orang-orang yang sedang berperang.”
(7)
Ar-Razi juga berkata, “Taqiyah dilakukan ketika seseorang sedang
berada di wilayah kaum kafir, sedangkan dia kawatir akan keselamatan
diri dan haratanya, maka dia boleh melakukan tipu daya terhadap orang
kafir itu lewat perkataannya, dengan tidak menampakkan permusuhan kepada
mereka dengan lisannya. Bahkan, dia juga boleh mengucapkan kata-kata
cinta kepada mereka untuk menipu saja, tetapi dengan syarat dia harus
tetapi menyelisihi perkataan itu dalam hatinya, dengan menolak apa yang
telah ia katakan.” (8)
Taqiyah Syiah: Adapun taqiyahnya orang syiah, target
utamanya adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahkan ulama mereka ada yang
menyusun buku dengan membuat bab khusus berjudul “Bab Wajibnya Taqiyah
Terhadap Ahlus Sunnah”. (9)
Ada juga sebuah perkataan yang mereka nisbatkan kepada Abu Abdillah,
yaitu “Barang siapa sholat bersama mereka (Ahlus Sunnah) pada shaf
pertama, maka seakan-akan dia sholat bersama Nabi Muhammad di shaf
pertama juga.” (10)
Salah satu sebab mengapa kaum Syiah sampai berkeyakinan seperti itu
adalah, karena mereka menganggap Ahlus Sunnah itu sama kedudukannya
dengan orang kafir, karena Ahlus Sunnah tidak beriman kepada Dua Belas
Imam milik Syiah.
Seorang ulama Syiah, Ibnu Babuwaih berkata, “Dan akidah kita terhadap
siapa saja yang mengingkari imamahnya Amirul Mukminin dan para imam
setelahnya, maka kedudukan orang tersebut seperti orang yang mengingkari
kenabian para nabi. Dan akidah kita terhadap orang yang mengakui
imamahnya Amirul Mukminin tetapi mengingkari salah satu dari imam-imam
kita, maka kedudukannya seperti orang yang mengakui kenabian para nabi,
tetapi mengingkari kenabian Nabi Muhammad.” (11)
At-Thusi juga mengatakan, “Siapa yang menolak imamah maka dia kafir, sebagaimana kafirnya orang yang menolak kenabian.” (12)
Perbedaan Ketiga: Taqiyah syar’iyah merupakan suatu rukhsoh (keringanan) dan bukan azimah (hukum yang tetap dari awalnya)
Taqiyah Syar’iyah: merupakan syariat dalam islam
yang diadakan sebagai suatu rukhsah bagi umat Islam dalam suatu keadaan
yang mendesak. Dan uamat Islam dibolehkan tidak melakukan suatu rukhsoh
(termasuk taqiyah sar’iyah) dan lebih memilih melakukan azimah, bahkan
para ulama mengatakan barang siapa yang tetap memilih melakukan azimah
dari pada mengambil rukhsoh ketika dalam keadaan darurat, maka itu lebih
baik.
Ibnu Bathol berkata, “Dan telah sepakat bahwa barang siapa yang
dipaksa untuk kafir, tetapi dia memilih terbunuh dalam Islamnya, maka
sesungguhnya hal itu mendapat pahala yang agung di sisi Allah.” (13)
Ar-Razi berkata, “Jika saja seseorang tetap menyuarakan keimanan dan
kebenaran pada saat dibolehkan baginya bertaqiyah, maka itu lebih baik.”
(14)
Pengikut Imam Abu Hanifah juga mengatakan bahwa taqiyah merupakan
rukhsoh dari Allah ta’ala, dan meninggalkannya adalah lebih utama. Maka,
barang siapa yang dipaksa untuk kafir tapi dia tetap tegar dalam
keimanan sampai dia dibunuh, maka itu lebih baik dari pada orang yang
bertaqiyah. Dan seluruh masalah yang berkaitan dengan kemuliaan Islam,
memegang teguh perjuangan walau sampai terbunuh adalah lebih baik dari
pada mengambil rukhsoh.” (15)
Begitu juga kisah Imam Ahmad ketika sedang diuji dengan fitnah
Al-Qur’an itu makhluk, ketika itu beliau ditanya seseorang, “Jika kamu
dihunus pedang, apakah kamu akan menjawab (bahwa Al-Qur’an itu makhluk),
? beliau menjawab, “Tidak!”, seraya berkata, “Jika seorang alim
menjawab seperti itu walau dengan taqiyah, niscaya orang jahil akan
semakin jahil (salah persepsi), jika begitu, kapan kebenaran akan
tegak?” (16)
Taqiyah Syiah: Dalam keyakinan Syiah, taqiyah bukan
sebuah rukhsoh tetapi azimah yang harus dilakukan, dan tidak ada pilihan
untuk meninggalkannya walaupun dalam keadaan terpaksa atau tidak. Ibnu
Babuwaih mengatakan dari imam-imam mereka, “Taqiyah itu wajib, tidak
boleh ditinggalkan sampai keluarnya sang Qoim, maka barang siapa yang
meninggalkannya sebelum keluarnya Qaim, maka dia telah keluar dari agama
Allah dan agama Imamiyah, serta telah menyelisihi Allah, Rasul dan para
Imam.” (17)
Perbedaan Keempat: Taqiyah Syar’iyah dilakukan dalam keadaan mendesak atau lemah.
Taqiyah Syar’iyah: Taqiyah syar’iyah pada dasarnya
dilakukan dalam keadaan mendesak dan terpaksa, bukan dalam semua
keadaan, terlebih lagi dalam keadaan lapang dan kuat.
Mu’adz bin Jabal dan Mujahid berkata, “Taqiyah pada mulanya digunakan
ketika awal kemunculan Islam sebelum kaum Muslimin memiliki kekuatan,
akan tetapi pada hari ini Allah telah memuliakan Islam dan menguatkan
kaum Muslimin, sehingga sudah seharusnya orang Islam tidak bertaqiyah
lagi di hadapan para musuh.” (18)
Taqiyah Syiah: Sedangkan taqiyah Syiah dilakukan
oleh pemeluknya dalam setiap keadaan, mereka tidak membedakan antara
keadaan mendesak atau lapang.
Mereka menukil perkataan As-Shadiq (versi mereka) yang berkata,
“Bukan dari golongan kita siapa saja yang tidak menjadikan taqiyah
sebagai syi’ar dan tamengnya dari orang yang tidak membahayakannya.”
(19)
Perbedaan Kelima: Taqiyah syar’iyah hanya diucapkan lewat lisan, bukan dilakukan dengan perbuatan.
Taqiyah Syari’ah: Taqiyah yang disyari’atkan dalam
Islam adalah taqiyah dalam bentuk ucapan lisan saja tanpa dilakukan
dalam bentuk perbuatan. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, “Taqiyah
bukanlah dengan amal, tetapi taqiyah hanya dengan perkataan lisan.”
Begitu juga perkataan Abul ‘Aliyah, Abu Asy-Sya’tsa, Ad-Dhahak dan
Robi’ bin Anas yang mana mereka mengaitkan dengan firman Allah,
مَن كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَـكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ
صَدْراً فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An-Nahl: 106). (20)
Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas menafsiri firman Allah ta’ala yang
berbunyi إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً “kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”
(Al-Imron: 28) beliau berkata, “Maksudnya at-tuqooh (taqiyah) adalah
perkataan dengan lisan tetapi hati tetap dalam keadaan beriman.” (21)
Menanggapi masalah jika ada seseorang yang dikatakan kepadanya,
“Sujudlah kepada berhala ini, jika tidak kami akan membunuhmu!” Hasan
berkata, “Jika berhala itu menghadap kiblat, maka dia boleh bersujud
pada berhala itu, tetapi niatnya adalah sujud pada Allah, akan tetapi
jika berhalanya bukan pada arah kiblat, maka janganlah dia mau sujud
walaupun harus dibunuh.”
Akan tetapi Al-Qadhi dalam menyikapi masalah ini mengatakan, “Dia
tidak dilarang bersujud asal niatnya tetap untuk Allah, walaupun tidak
mengarah kiblat, karena Allah berfirman, “maka kemanapun kamu menghadap
di situlah wajah Allah” (Al-Baqarah: 115). Begitu juga syariat Islam
membolehkan bagi musafir untuk menghadap arah selain kiblat ketika
shalat. (22)
Taqiyah Syiah: Adapun kelompok Syiah melakukan
taqiyah dengan lisan dan perbuatan sekaligus, atau dengan cara apapun
yang bisa membuat mereka melakukan taqiyah, bahkan taqiyah merupakan
salah satu prinsip ibadah mereka, dimana mereka menyatakan bahwa 9 dari
10 agama mereka adalah taqiyah.
Perbedaan Keenam: Taqiyah syar’iyah tidak dijadikan sebagai tabiat seorang Muslim dalam segala keadaan.
Taqiyah Syar’iyah: Taqiyah syar’iyah merupakan suatu
rukhsoh, sehingga tidak dibolehkan bagi umat Islam terus-terusan
melakukannya dalam semua keadaan. Dr. Al-Qifari mengatakan, “Taqiyah
dalam Islam yang merupakan agama jihad dan dakwah, bukan merupakan
prinsip utama yang melandasi akhlak seorang Muslim, dan bukan merupakan
sifat dari masyarakat Islami, tetapi taqiyah sebenarnya hanya perilaku
individu yang sifatnya sementara, tergantung dengan marabahaya yang
menimpanya yang membuatnya tidak bisa menghindar dari bahaya itu serta
dalam keadaan terpaksa.” (23)
Taqiyah Syiah: Dalam keyakinan Syiah taqiyah
merupakan suatu keharusan bagi setiap orang Syiah. Mereka harus selalu
bertaqiyah dan melakukannya dalam setiap keadaan. Dari situ jelaslah
bahwa selalu ada kedustaan di tubuh pengikut kelompok Imamiyah Itsna
‘Asyriyah ini, bahkan Ahlus Sunnah masih mentolelir riwayat dari ahli
bid’ah secara umum kecuali riwayat dari orang Syiah, karena Syiah sudah
terlalu banyak berdusta.
Imam Malik ketika ditanya tentang Rofidhoh beliau berkata, “Jangan
kalian berbicara pada mereka dan jangan meriwayatkan dari mereka, karena
mereka adalah pendusta.” (24)
Imam Syafi’i juga mengatakan tentang mereka, “Aku tidak mendapati
seseorang yang lebih terlihat jelas kedustaannya dibanding orang
Rofidhoh.” (25)
Syuraik Al-Qadhi juga berkata, “Aku mengambil ilmu dari siapapun yang
aku temui kecuali orang Rofidhoh, karena mereka gemar memalsukan hadits
sekaligus menjadikannya pedoman agama.”
Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Seluruh ahlul ilmi telah bersepakat
perihal periwayatan dan isnad bahwa Rofidhoh adalah kelompok yang paling
gemar berdusta, kedustaan mereka sudah sejak dulu, oleh karenanya para
Imam agama Islam sejak dulu sudah mengetahui ciri khas mereka dalam
berdusta. (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah/Ibnu Taimiyyah: 1/26)
Dalam penjelasan Akhirnya beliau mengatakan, “Sedangkan Rofidhoh asli
bid’ah mereka adalah zindik sekaligus atheis, karena mereka selalu
sengaja berdusta dan mereka mengakui itu, sebagaimana mereka berkata,
‘agama kita adalah taqiyah, yaitu salah seorang dari kalian berkata
dengan lisannya menyelisihi apa yang disimpan dalam hati’. Hal ini
merupakan bentuk dusta dan nifaq.” (28)
Perbedaan Ketujuh: Taqiyah syar’iyah bukanlah sebagai sarana untuk memuliakan dienul Islam.
Taqiyah Syar’iyah: dalam ajaran Islam, taqiyah yang
benar bukan merupakan suatu perantara untuk mencapai kemuliaan Islam,
bahkan untuk menunjukkan kemuliaan Islam adalah dengan menampakkan
ke-Islaman kita kepada para musuh dan tidak menyembunyikannya. Hal ini
sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala,
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama
yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah
sebagai saksi.” (Al-Fath: 28)
Taqiyah Syiah: Dalam ajaran Syiah taqiyah justru
menjadi sarana utama yang mereka yakini dapat memuliakan agama mereka.
Agama Syiah menurut mereka tidak akan mulia jika tidak disembunyikan,
sebagaimana Abu Abdilla dalam riwayat mereka mengatakan, “Sesungguhnya
kalian berada di agama yang jika kalian menyembunyikannya niscaya Allah
akan memuliakannya, tetapi barang siapa yang menampakkannya niscaya
Allah akan menghinakannya.” (29)
Sebagaimana penjelasan di atas bahwa taqiyah syar’iyah sangat berbeda
dengan taqiyah yang diyakini Syi’ah. Taqiyah syar’iyah disyari’atkan
pada saat-saat genting dan terpaksa, taqiyah syar’iyah juga dilakukan
kepada orang-orang kafir bukan untuk sesama mukmin, sebagaimana konteks
ayat tentang taqiyah dalam surat Al-Imran, taqiyah syar’iyah juga bukan
merupakan ushuluddin (pokok agamama), dan yang tidak melakukannya tidak
dihukumi kufur atau murtad.
Sedangkan taqiyah Syi’ah mereka yakini sebagai ushuluddin (pokok
agama) yang jika ditinggalkan maka dapat menyebabkan kekufuran, orang
Syi’ah juga melakukan taqiyah dalam seluruh keadaan, tidak membedakan
mendesak atau tidak, bahaya atau aman, dan mereka melakukan taqiyah
terutama mereka tujukan untuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Kesimpulan:
Pada dasarnya umat Islam dilarang untuk menyerupakan ajaran yang
murni dari Islam dengan ajaran yang dibuat-buat oleh orang Zindiq.
Setelah kita mengetahui hakikat taqiyah agama Syi’ah, kita dapat
menyimpulkan bahwa taqiyah Syi’ah tidak ada bedanya dengan dusta atau
kemunafikan, bahkan taqiyah Syi’ah itulah inti dari dusta dan
kemunafikan.
Dan akhrinya, kita selalu memohon kepada Allah ta’ala Yang Maha
Tinggi lagi Maha Menentukan, untuk selalu melindungi kita dari
ketergelinciran pada keburukan dan mengokohkan kita agar senantiasa
selalu berada di gari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Alhamdulillahi Rabbil
‘Alammin..
*Beliau merupakan anggota dari Rabithah Ulama Syari’ah Majelis Ta’awun
(1) Lihat: Tafsir Al-Baghowi 2/26.
(2) Lihat: Ushul Al-Kafi, Al-Kullaini 2/217, Bihar Al-Anwar, Al-Majlisi 75/423.
(3) Lihat: Ushul Al-Kafi, Al-Kullaini, Bab Taqiyyah 2/217, 219.
(4) Lihat: Man Laa Yahdzuruhu Al-Faqih, Ibnu Babuwaih 2/80, Bihar Al-Anwar, Al-Majlisi 75/423, 414.
(5) Lihat: Ikmal Ad-Diin, Ibnu Babuwaih 355, Bihar Al-Anwar, Al-Majlisi 75/412.
(6) Lihat: Tafsir At-Thobari 6/316.
(7) Lihat: Tafsir Al-Baghowi 2/26.
(8) Lihat: Tafsir Ar-Razi 4/170.
(9) Lihat: Wasail As-Syi’ah, Al-Hurr Al-’Amali 11/470.
(10) Lihat: Bihar Al-Anwar, Bab Taqiyyah 75/421.
(11) Lihat: Al-I’tiqodaat, Ibnu Babuwaih 111.
(12) Lihat: Talkhis As-Syafi, At-Thusi 4/131.
(13) Lihat: Fathul Bari 12/317.
(14) Lihat: Tafsir Ar-Razi 4/170.
(15) Lihat: Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, Abi Hayyan 3/191.
(16) Lihat: Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi 1/372.
(17) Lihat di kitabnya Al-I’tiqodaat 114, 115
(18) Lihat: Tafsir Al-Baghowi 2/26.
(19) Lihat: Wasail As-Syi’ah: 11/466, Bihar Al-Anwar 75/395.
(20) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 2/30.
(21) Lihat: Ad-Durrul Mantsur, As-Suyuti 2/176.
(22) Lihat: Al-Muharror Al-Wajiz, Ibnu Atiyyah 1/400.
(23) Lihat: Ushul Madzhabi As-Syi’ah, Al-Qifari 2/981.
(24) Lihat: Lisanul Mizan, Ibnu Hajar 1/10.
(25) Lihat: Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro 10/208.
(26) Lihat: Mizanul I’tidal fie Naqdi Ar-Rijal, Adz-Dzahabi 1/208.
(27) Lihat: Lisanul Mizan, Adz-Dzahabi 1/10, Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyyah 1/26.
(28) Lihat: Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, Ibnu Taimiyyah 1/30.
(29) Lihat: Ushul Al-Kafi 1/222.
No comments:
Post a Comment